Subscribe Us

header ads

Suap dalam Amplop Pemilu: Antara Etika Politik dan Nilai Agama

 

Oleh: Dimas


Mendekati masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, semangat politik merajalela. Janji manis, program pembangunan, dan strategi blusukan menjadi senjata para politisi untuk memenangkan hati masyarakat. Namun, di balik gebyar kampanye tersebut, muncul praktik yang melenceng dari etika: pemberian amplop dan sembako dengan maksud mendapatkan dukungan.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia, ada kontradiksi yang mencolok antara identitas agama dan tindakan politik yang terkadang tidak bermoral. Data dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) menyatakan bahwa sekitar 86,7% dari populasi Indonesia adalah Muslim, sebuah jumlah yang menggambarkan signifikansi Islam dalam kehidupan masyarakat.

Namun, pertanyaannya, apakah kuantitas populasi Muslim sejalan dengan kualitas spiritualnya? Praktik menerima suap, yang dalam Islam dikenal sebagai risywah, jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama. Hadis Rasulullah Saw. menyebutkan hukuman keras bagi pemberi, penerima, dan perantara suap. Bahkan, Alquran dan Sunah menegaskan bahwa suap termasuk dalam dosa besar.

Amplop dan sembako yang dibagikan oleh politisi dengan maksud agar dipilih adalah bentuk suap yang terang-terangan. Namun, di tengah penyalahgunaan istilah atau pembenaran yang keliru, tidak ada dalil agama yang mendukung praktik ini. Slogan seperti ‘terima uangnya, coblos yang lain!’ adalah pemahaman sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Muncul argumen bahwa politisi memberi sembako dengan niat tulus untuk rakyat. Namun, jika itu alasan yang digunakan, konsekuensinya justru lebih berat. Pemberian suap yang disertai dengan pembenaran palsu merupakan tindakan yang menipu dan Allah SWT tidak akan pernah dipermainkan.

Jika niat tulus untuk membantu, seharusnya pemberian dilakukan tanpa ada unsur politik, tanpa ekspos media, dan tanpa maksud memperoleh dukungan. Namun, realitanya tidak demikian. Hal ini menjadi peringatan bahwa masyarakat seharusnya tidak menutup mata terhadap praktik-praktik tidak bermoral seperti ini.

Pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana hati nurani kita? Apakah agama dan hukum Allah sudah menjadi taruhan dengan sembako dan uang? Lebih parah lagi, jika kita bahkan tidak takut akan hukuman dari Allah, maka hukuman dari negara menjadi hal yang sepele.

Penting untuk menyebarkan kesadaran ini kepada keluarga, sahabat, dan masyarakat luas. Suap, dalam bentuk apapun, termasuk amplop dan sembako selama masa pemilu, harus dianggap sebagai perbuatan haram. Jika calon pemimpin saja terlibat dalam kecurangan, bagaimana keadaan rakyatnya nanti?

Pemilihan umum seharusnya didasarkan pada integritas, visi, dan rencana aksi, bukan pada amplop dan sembako yang memutar balikkan nilai-nilai agama. Masyarakat berperan penting dalam menjaga etika politik dan moralitas, sehingga pemimpin yang terpilih nantinya akan benar-benar mewakili kepentingan masyarakat dengan jujur dan amanah.


Posting Komentar

0 Komentar