Subscribe Us

header ads

Moderasi dan Keseimbangan

 

Oleh: Ilmi Hatta Dhiya’ulhaq


Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi umat manusia untuk memiliki pemahaman yang benar dan adil dalam hidup ini. Kalaulah tidak punya pemahaman yang adil, kehidupan manusia pastilah kalut. Seakan-akan menjadi seperti gerakan membanting stir dari satu sisi pemikiran ke sisi lainnya. Tidak setuju dengan satu sisi, seringnya masyarakat mereaksi berlebihan sehingga masuk ke sisi lain yang berlawanan. Kalau tidak condong ke kanan, maka condong ke kiri. Pelik? Mari coba dekatkan pikiran ini dengan contoh sederhana.

Banyak sekali contoh yang bisa diambil dalam hal ini. Salah satunya, mari petik pelajaran dari kelahiran Liberalisme di Eropa yang ditandai dengan dimulainya era pencerahan alias Reinassance. Sebelumnya, kehidupan masyarakat di Eropa sangat tunduk kepada aturan gereja. Namun, setelah Reinassance agama mulai ditinggalkan, hingga kini yang didewakan justru ilmu pengetahuan. Cara hidup yang kontras ini apa penyebabnya?

Sejarah mencatat bahwa dogma agama yang ada di Barat menekan masyarakatnya, menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka, bahkan menyiksa. Agama juga didapati tidak berjalan sesuai dengan fitrah manusia dan alam. Agama yang ada di Barat malah bertolak belakang dengan ilmu pengetahuan. Ketika terdapat orang-orang yang ingin meneliti fenomena-fenomena alam yang ada, mereka malah difitnah, dikucilkan, hingga diinkuisisi oleh agama. Tindakan dari gereja ini menjadikan ilmu pengetahuan tidak berkembang, kehidupan di Eropa pun terpuruk. Masyarakat Barat pun mereaksi dengan berusaha meliberalisasi hidup mereka dari agama, sehingga agama menjadi sesuatu yang sangat dibenci. Urusan-urusan yang berkenaan dengan agama kemudian disudutkan dan dipisahkan dari pelbagai urusan lainnya.

Tidakkah yang seperti ini hanyalah pergi ke masalah baru? Di awal, kehidupan mereka memegang erat agama secara berlebihan. Semua yang berasal agama mutlak harus diaati, dan di waktu yang sama harus anti terhadap ilmu pengetahuan. Apapun yang datang dari ilmu pengetahuan harus dihindari. Sekarang terbalik, mereka memegang erat ilmu pengetahuan tapi anti terhadap agama. Apa yang bersumber dari ilmu pengetahuan wajib dipercayai, lalu apa yang disabdakan agama harus dicurigai. Sama saja berlebihan, baik berlebihan menganut satu sisi, dan berlebihan menolak sisi lain. Apakah cara hidup baru ini mengantarkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik?

Pada contoh kasus di atas, dengan cara hidup yang berlebihan masyarakat sama saja tidak mampu menggapai kehidupan baik yang semestinya. Dengan menjadi anti terhadap agama, maka segala sesuatu di Barat, baik dalam ranah pendidikan, keilmuan, kebudayaan, dan lain sebagainya terpaksa harus didasarkan kepada akal manusia saja. Ilmu pengetahuan tidak boleh didasarkan terhadap agama. Sedangkan akal manusia serba terbatas, sehingga ilmu pengetahuan yang dikonsep sendiri oleh manusia tidak bisa paripurna. Bahkan, konsep-konsep ilmu yang terbangun dengan dasar yang tidak melibatkan agama merupakan simbol dari keangkuhan manusia yang mengantarkan manusia menuju kerusakan. Jika sama-sama mengantarkan kepada kerusakan bukan kemaslahatan, lantas untuk apa adanya perubahan cara berkehidupan ini? Lebih jauh lagi, memang cara berkehidupan yang seperti apa yang seharusnya dianut?

Kalau didapati bahwa cara hidup yang berlebihan itu merusak, itu artinya, untuk menghindari hidup yang rusak caranya adalah dengan tidak berlebihan. Hidup baik dengan tidak berlebihan adalah tidak fanatik pada satu sisi saja, sehingga anti terhadap sisi lain. Berarti adil dalam menganut nilai-nilai baik, dan menolak nilai-nilai buruk pada setiap sisi. Tidak terlalu ke kanan, tidak terlalu ke kiri. Seimbang dengan takaran dan porsinya masing-masing. Inilah yang disebut dengan moderasi alias wasathiyyah.

Moderasi atau Wasathiyyah dalam Islam merujuk kepada Surat Al-Baqarah ayat 143, di mana disebutkan bahwasanya umat Islam adalah ummatan wasathan. Pada Tafsir Al-Baidhawi, dijelaskan yang dimaksud dengan ummatan wasathan adalah umat yang paling baik dan adil (khiyaran wa ‘udulan) dengan berbekal ilmu dan amal. Dijelaskan bahwa pada aslinya, kata “wasath” sendiri memang berarti tengah secara literal sebagaimana sudah dipahami. Kenapa wasathan artinya adalah yang paling baik?

Dikuatkan dengan penjelasan selaras yang ditulis oleh Grand Syaikh Al-Azhar, Imam Ahmad Ath-Thayyib pada At-Tafsir Al-Wadhih, bahwa kata tengah/wasath tadi digunakan untuk memaknai kata paling baik karena sifat-sifat terpuji posisinya selalu berimbang dan ada di tengah. Tafsir kontemporer ini memberikan contoh: sebagaimana posisi tengahnya sifat dermawan yang ada di antara sifat boros dan pelit, juga sifat pemberani di antara sifat nekat dan sifat pengecut. Tengah di sini dimaknai terbaik karena ada di antara ifrath dan tafrith, yang artinya adalah hal-hal yang berlebihan. Ifrath artinya berlebihan dalam menganut sesuatu dan tafrith artinya berlebihan dalam menolak sesuatu.

Makna “tengah” sebagai cara hidup yang terbaik tidak bisa ditolak oleh fitrah manusia. Karena sebagai makhluk biologis, hidup manusia akan baik-baik saja selama seimbang. Misalnya, jika seseorang tidak pernah tidur dia pasti akan sakit, tapi tidur terus juga tidak sehat. Ada dalam keadaan yang terlalu panas menimbulkan dehidrasi, kalau terlalu dingin terkena hipotermia. Tidak makan mati, makan terlalu banyak juga mati. Supaya tidak jatuh kepada kerusakan, manusia hendaknya melakukan semuanya secara seimbang dan adil sesuai takaran semestinya, tidak berlebihan. Artinya tidak banting stir ke kanan, tidak pula ke kiri. Begitu juga artinya tidak terlalu di atas, tidak terlalu di bawah. Tidak ber-ifrath, tidak juga ber-tafrith. Semua yang baik itu di tengah, benarlah pepatah Arab: “khairul umuuri awsathuha”.

Fenomena alam yang melekat pada tabiat alami manusia yang dijelaskan tadi menguatkan bahwa memang seharusnya manusia menjalankan hidupnya dengan moderat: seimbang dan adil. Moderat dalam segala aspek, bukan hanya dalam beragama, juga dalam berkehidupan sosial, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan.

Hidup dengan konsep wasathiyyah adalah kehidupan yang terbaik dan paling sesuai dengan fitrah manusia. Untuk mengamalkannya, masyarakat harus adil tidak boleh berlebihan. Tidak boleh berlebihan dengan mengambil semua nilai yang ada pada satu sisi karena rasa suka, bukan juga menolak semua nilai yang ada pada sisi lain karena rasa benci. Tidak seharusnya membiarkan keadaan yang ada mendorong perasaan dan pemikiran untuk menuju kepada sikap berlebihan: ifrath atau tafrith. Harus adil dan selalu di tengah.

Untuk pelengkap, Prof Hamid di Misykat mengomentari ambisi Barat untuk melawan radikalisme dengan liberalisme. “Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalisme. Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme tidak perlu esktrimisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.” Artinya, barat berusaha melawan ifrath dengan membuat tafrith, dan itu merupakan tindakan tidak benar dan tidak solutif. Di mana seharusnya, segala hal yang buruk dilawan dengan kebijaksanaan dan keadilan.

Dalam kata lain, tidak seharusnya seseorang membakar badannya hanya karena merasa kedinginan, pun tidak seharusnya ia membekukan dirinya hanya karena merasa kepanasan. Karena itu adalah tindakan yang berlebihan, dan yang berlebihan pasti merusak. Seharusnya, yang dituju adalah rasa hangat yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan tubuh. Maka dalam hidup, yang kita tuju adalah porsi yang seimbang dan titik yang ada di tengah.

 

 

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Api yang cukup akan membakar semangat, api yang berlebih akan membakar kebahagiaan. Dingin yang cukup akan merendahkan hati, dingin yang berlebih akan memadamkan jiwa.

    BalasHapus