Subscribe Us

header ads

Terdengar Suara Derap Kaki di Surga

 
oleh: Moh Habibur Rahman


           Fajar pagi dengan cahaya mentari menerobos gedung gedung berbaris rapi coklat dilapisi debu-debu yang basah bak pasukan kaum muslimin saat menanti dua kemenangan, Ahmad meraih tongkat, dengan sepenuh tenaga dia memakainya untuk berjalan, setiap langkah yang ia kerahkan mengingatkan dirinya dan kawan-kawannya sebulan lalu, tentang sebuah pengorbanan dan kehormatan yang telah ia alami, iya benar, dia mengorbankan dirinya dengan menendang bom granat yang dilemparkan oleh seorang tentara Zionis ke arah teman temannya yang sedang bermain bola.

          Satu bulan lalu,  ketika itu semua penonton melihat  dua permainan  kelompok yang saling beradu strategi penyerangan dan pertahanan tim, Ahmad menendang bola dari tengah lapangan pasir menuju gawang sang lawan semua mata tertuju pada sebuah bola yang melesat kencang bak peluru yang melesat dari sebuah pistol. Bola itu membentur tiang gawang terdengar sebuah suara, Blaaaaar.

          Sebuah bunyi yang bukan berasal dari suara gawang yang tersambar bola. Tanah yang mereka pijak bergetar, burung-burung gagak yang hinggap di gawang seketika terbang  terengah-engah, alarm mobil-mobil di sekitar lapangan berbunyi serentak, Kegembiraan mereka seketika terpecah saat terdengar sebuah bom dari arah selatan lapangan,  mereka serentak menghentikan permainan dan terdiam, melihat sebuah asap mengepul tinggi dari jarak satu kilo meter dan menyusul suara gemuruh sebuah gedung yang runtuh.

          “Lariiiiiii” teriak Asyraf  salah satu rekan tim pertandingan sepak bola. Mereka pun lari sekencang kencangnya, belum saja lima detik bom terlempar ke arah lapangan dan mengarah kepada Asyraf, rekan tim Ahmad dan sekaligus saudara sepupunya, dengan sigap Ahmad tersadar bahwa Asyraf adalah anak laki-laki tunggal dan hanya mempunyai ibu, karena ayahnya Asyraf syahid dalam sebuah peperangan saat Asyraf dalam kandungan ibunya,

          “Asyraf awas di sampingmu” teriak Ahmad. Ahmad berlari mendekati bom itu, karena bom masih belum meledak, selang beberapa detik kesempatan untuk menendang bom granat  itu , Ahmad menendang bom itu seperti dia menendang bola, dengan sekuat tenaga dengan kaki kanannya menggunakan sepatu bekas tinggalan dari ayahnya, bom granat itu pun terpental, dan Blaaaaar ....Bom granat itu meledak dahsyat, belum saja jarak antara Ahmad dengan bom granat itu satu meter, Ahmad terbaring ditengah lapangan dan dia merasa semua penglihatannya hitam seperti dalam ruangan hampa tanpa  setitik cahaya.

           Tubuh Ahmad terbaring di tengah lapangan tersenyum tipis dari bibir yang basah karena shalawat dan zikir, kulit yang putih kini berlapis debu, kaki kanan yang selalu menemani kaki kirinya untuk berjalan menuju masjid, majelis-majelis ilmu, menemani adiknya bermain, membantu ibunya berdagang, yang ia gunakan untuk memijakkan untuk berjihad, berperang mengusir penjajah bumi para nabi dan tanah yang pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, kini sedang pergi dahulu dari kaki kirinya menuju surga, disambut kemudian dibasuh oleh bidadari, kaki kanannya menari-nari, dipakaikanlah sepatu dari intan dan za’faran emas berwarna merah, setiap derap langkah kaki kanannya di surga, ia bisa merasakan derap kaki itu senada dengan detak jantung Ahmad, dan dia tidak mempedulikan apa yang terjadi pada dirinya saat itu.

            Asyraf yang menyadari apa yang terjadi dengan Ahmad, ia berlari sekencang mungkin menuju Ahmad yang tergeletak di tengah lapangan dengan pasir yang beterbangan bekas ledakan dahsyat  bom granat.

 

 “wahai Ahmad saudaraku, apa yang engkau lakukan terhadap dirimu sendiri, wahai Ahmad, Ahmad, Ahmad, Ahmaaaaaaaaad kakimu.......kakimu kaki kananmu wahai sepupuku?” kata Asyraf berteriak histerissambil memeluk badan Ahmad.

 “Allah, Allah , Allah, Allah...............” Bibir Ahmad tak henti-hentinya melafazd-kan nama Allah SWT, Tuhan tempat ia memasrahkan semua perkara Dunia dan Akhiratnya.

              Asyraf sesegera mungkin membopong tubuh Ahmad dengan sekuat tenaga, diangkatlah Ahmad walaupun tubuh Asyraf lebih kecil, Asyraf melihat ke arah selatan di belakang sebuah gedung, terdengar suara derap kaki tentara Zionis laknatullah yang kapan dan di mana saja membunuh warga sipil yang tak berdosa.

              Asyraf membopong Ahmad ke arah utara dari lapangan sebelum para tentara Zionis laknatullah menemukan mereka berdua, dan menjadi sasaran empuk di tengah lapangan bebas.

 “Allah, Allah, Allah, Allah......” Terdengar dari bibir Ahmad, ia masih saja tersenyum dan berzikir seirama dengan derap langkah kaki Asyraf saat lari membopong di pundanknya. Asyraf membawanya jauh dari lapangan, lari sejauh-jauhnya, sampai di sebuah gedung terbengkalai, yang menurutnya aman dari kejaran manusia-manusia kejam dan biadab, dan membawanya ke lantai enam, menyandarkan Ahmad di sebuah tembok sebuah ruangan kosong dan terbengkalai, di mana tempat yang tidak mungkin untuk di temukan oleh pasukan Zionis, mereka berdua berdiam dan menunggu pasukan penyelamat Hamas.

            Asyraf pun mengintip ke bawah dari jendela, melihat kondisi yang aman, Asyraf pun kembali ke pada Ahmad.

”Bagaimana kondisimu sepupuku?” tanya Aysraf.

             ”Alhamdulillah aku baik-baik saja,” kata Ahmad

             “Bagaimana engkau mengatakan bahwa dirimu baik-baik saja sedangkan kamu kehilangan kaki kananmu? Apa yang engkau pikirkan? Apa yang membuatmu tetap tersenyum dari tadi?  Mengapa kau mengorbankan dirimu hanya karena diriku saja?” tanya Asyraf heran.

              Sambil membaringkan badannya Ahmad berkata,”Wahai Ahmad saudaraku, bagaimana aku bisa bersedih sedangkan aku bisa mendengarkan derap kaki kananku seirama dengan denyut nadiku dan jantungku, bagaimana aku bersedih sedangkan aku mempunyai islam, iman, dan ihsan yang menjadi karunia Allah SWT untukku, ilmu sebagai senjataku, sabar sebagai kekuatanku, yakin adalah kekuatanku, kejujuran sebagai penolongku, shalat sebagai kebahagiaanku, itulah keteladanan nabi kita Muhammad SAW sebagai alasan kenapa aku masih tetap bersyukur”.

           Asyraf memikirkan dan meresapi apa yang Ahmad katakan sampai mereka tertidur di sebuah gedung yang terbengkalai, mereka terbangunkan oleh sebuah suara yang menyejukkan telinga, suara yang bersumber dari bibir seorang mujahid Hamas.

           “wahai anak muda bangunlah, di sekitar tempat sini sudah aman dari para pecundang zionis itu, ikutlah kami!!! kalian akan aman, istirahatlah dengan nyaman di markas kami!!!, di sana ada dokter yang akan merawat dan mengobati kalian”.Ucap mujahid itu dengan nada yang penuh dengan kasih sayang bak sang induk ayam menemukan anak itiknya di tengah hutan yang lebat sembari melihat kondisi kaki Ahmad yang putus sampai paha atasnya. 

            Ahmad dan Asyraf saling bertatap mata dan mereka mulai mempercayai mujahid itu saat melihat sorban yang menutupi kepala mujahid itu terdapat kalimat laailaahaillallah. mereka mengikuti rombongan para mujahid Hamas dengan kondisi perut kosong kelaparan, sepatu lusuh  mereka berdua masih menempel di kaki mereka, dan mereka  hingga sampai di markas para mujahidin tempat berlindung sementara mereka  hingga selamat.

            Ingatan Ahmad masih sangat segar satu bulan lalu, diraihnya tongkat dan berjalan dengan satu kaki dibantu dengan tongkat, Ahmad selalu merasakan derap langkah, seolah-olah kaki itu mengatakan kepada Ahmad, “hei Ahmad aku menunggumu, wah di sini kau ditunggu istri-istri bidadarimu”.

            Semakin ia melangkah semakin kokoh imannya , begitulah sebuah keimanan orang-orang saleh berilmu dan beradab, penuh dengan keikhlasan dan luasnya rasa syukur, penuh dengan keteladanan Rasulullah SAW.

TAMAT

Posting Komentar

0 Komentar