Subscribe Us

header ads

Senyumku Palsu, sampai Kuingat Niatku

 

Karya: Ihya'


/Senyumku/

Di pagi yang disaput rindu

Gembira memakzulkan sejuta sendu

Bergegas kupecut sepeda yang butut

Kuteriaki jeruji-jerujiya untuk berlari

Gelora semangat pada awal hari

            Idealisme demi membangun negeri

 

Mentari, senyum manisnya terangkat

Menonton aku yang tak pernah terlambat

Sinarnya menyapa hangat,

“Selamat pagi, Pak Guru,”

ucapnya. Aku tersimpul penuh haru

Sapaan setia setiap hari yang baru

 

Angin yang berlari

Udara yang berjalan

Awan yang merangkak

Daun-daun yang berdansa dengan bulir-bulir embun

Bersama mentari, mereka menjadi saksi

 

Gerbang hitam sekolah terbuka

Sepeda bututku melenggang suka-suka

Murid-murid berangsur hadir beraneka

Anak-anak yang kurindukan,

Kan kudidik budi pekerti luhur

Kan kuajarkan ilmu pengetahuan

Senyum tulus kulebarkan

            Karena kalianlah masa depan


/Palsu,/

Terbongkar setiap tanggal satu

Ketika kulihat isi jumlah itu,

Digit-digit ini ternyata sedikit                           

menjelmakan semuanya menjadi rumit

Setengah jiwa memaksa berkelit,

“Mungkin seharusnya mundur saja.”

Setengah lain menolak,

“Kau harus tulus wahai, Pak Guru,

tidak ingatkah engkau pada muridmu,

pada masa depan bangsa?”

Tidak ada yang bisa melerai gejolak jiwa.

“Omong kosong! Kau juga manusia;

dadamu, perutmu, hidupmu butuh biaya.”

Sayatan-sayatan di hati lebar menganga

Perdebatan ini hampir memberangus cita

Dihajar, dilibas, dihantam,

Idealisme babak belur oleh realita

Rasa sabar berusaha berpendar

Memeluk semua sakit yang menyebar

Sebelah jiwa belum mau berhenti

Masih semangat memaki-maki

“Bodoh…! Manusia bodoh!

Di tempat lain lebih besar gajinya!

Setimpal, dan bisa membuatmu kaya!

Terus-terusan miskin? Mau-maunya?!

Rasa sabar kalah dan menjadi pudar

Suara sumbang semakin menggelegar

Putus asa terasa semakin nyata

Tanpa uang, manusia tidak bisa apa-apa

Tapi cinta dan cita itu? Akankah sia-sia?

Depresi mencekik, siap merenggut nyawa


/sampai Kuingat/

Ternyata tadi hanya kilasan lamunan

Namun lamun membangun sedu sedan

Pertanyaan datang tak terelakkan

 

Demi apa lelah ini?

Demi apa letih ini?

Demi apa uang, tenaga, pikiran, dan jiwa ini?

Demi apa kukorbankan semua ini?

 

Apakah …?

Hanya demi mencari penghasilan

Demi perut yang takut kelaparan

Ketakutan akan kebutuhan yang menekan

Demi apa?

 

Ataukah …?

Demi mahligai adiwarna

Demi singgasana nirmala

Ataukah demi buaian dunia yang menggoda

Demi apa?

 

Demi apa perjuanganmu wahai guru?

Panas kautantang.

Dingin kauterjang

Diberondong hujan tak kauhiraukan …

Demi apa?

 

Demi apa semua itu?

Kau pun bingung tidak tahu,

Jawaban bagimu hanya satu:

terus melangkah maju.


/Niatku/

Masihkah ia sebersih istana

Masihkah ia sebening kaca

Masihkah ia sejernih telaga

 

Aku pun mulai ragu

Ragu, sampai suara lembut itu menegurku

“Assalamua’alaikum, Pak Guru.”

“Wa’alaikumussalam,” jawabku.

Seorang murid mencium tanganku

Sungguh berarti senyuman itu

Mendidikku untuk tidak diseret oleh sendu

Mengejarkanku bahwa cinta akan selalu memandu

 

Terima kasih, murid-muridku

Yang kuajarkan hanyalah ilmu pengetahuan

Namun, kalian mengajarkanku makna kehidupan


__________________________

Spesial Hari Guru Nasional

 

 

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar