Subscribe Us

header ads

Ruang Waktu

oleh: Iha


Pukul 1 dini hari, seorang wanita berusia 23 tahun kembali terbangun dari tidurnya. Entah sudah keberapa kali, hingga akhirnya ia memutuskan beranjak untuk membasuh mukanya di kran air kamar mandi. Ia basuh mukanya sebanyak-banyaknya, hingga ia benar-benar terjaga, tersadar dan kembali cukup waras bahwa yang tadi adalah mimpi.

Terhitung 5 tahun. Ralat, 5 tahun 20 hari sudah ia melewati sang malam dengan penuh tanda tanya. Dihantui dengan sosok yang keberadaannya

 

Hari ini Sabtu pagi. Dan ia sudah harus berurusan dengan notifikasi aplikasi sosial medianya. Untungnya sekarang aplikasi itu sudah dilengkapi dengan filter foto atau video yang tak ingin ia lihat. Jadi jika filter itu dihidupkan, maka berita kehidupan teman-temannya hanya sebatas koran satu baris.

Margareth.

Menikah 3 hari yang lalu.

Dengan teman SMP yang ia temui lagi saat kuliah. Mereka menikah di Yogakarta. Tak ada foto dan video undangan Margareth. Tak ada foto dan video mereka pertama kali sampai di Bandara Adi Sutjipto. Tak ada promosi make up wedding dengan kamera yang diputar-putar. Hanya satu paragraf yang penting.

Ia menggulir lagi jarinya ke kabar temannya yang lain.

 

Silvia.

Sekarang lanjut S2 di UK. Jurusan Desain Thinking. Tak ada foto dan video ketika ia berteriak saat membuka website penerimaan mahasiswa. Tak ada repost foto selamat dari teman-temannya yang lain. Sekali lagi hanya paragraf sebaris.

Ia menggulir lagi jarinya.

 

Nathan.

Masih hidup.

Kabar dari orang itu masih sama. Masih hidup. Ruang Waktu tak pernah diperbaharui, bahkan saat ia menggulir ke profil orang itu. Tak ada apapun kabar selain ‘Masih Hidup’. Terakhir bertemu lima tahun lalu di menara, sambil menyesap teh hangat yang dijual di warung sekitar menara.

Ia ingat sekali hari itu. Karena dunia heboh dengan kedatangan aplikasi baru, Ruang Waktu, namanya. Saat kamu login ke Ruang Waktu, maka setiap peristiwa penting dalam hidupmu akan otomatis terperbaharui. Status pekerjaan, status pendidikan, status percintaan. Semua orang di kontakmu akan segera tahu sesaat setelah kejadian itu terjadi. Entah lewat otak atau apa, yang pasti saat login kamu harus mendaftarkan sidik jari, mata, dan menempelkan kepalamu ke kabel-kabel di station Ruang Waktu.

Nathan tersenyum meremehkan aplikasi baru kala itu, menganggap aneh orang-orang yang terobsesi dengan kehidupan orang lain. Toh, hidup sendiri saja sudah cukup memusingkan.

Tapi bukan Nathan namanya kalau tidak menjilat ludah sendiri, ia akhirnya mengunduh diam-diam aplikasi itu di tengah malam, berharap tak akan ada orang yang mengetahui. Bodohnya, ia tak mengetahui jika aplikasi itu akan memberikan notifikasi ke seluruh kontak jika kamu mengunduhnya untuk pertama kali.

Segera saja, esoknya saat berkumpul di menara Nathan diceng-cengin habis-habisan. Ia menjawab enteng bahwa aplikasinya kepencet dan bersumpah tidak peduli dengan kehidupan siapapun.

Hari itu hari terakhir Nathan terlihat di sekitaran menara.

Seseorang bilang mereka sekeluarga pindah rumah. Tapi tanpa berkabar sama sekali? Bahkan hingga lima tahun kemudian, tak ada update di Ruang Waktu-nya. Hanya masih hidup.

Terkutuklah pembuat aplikasi ini, ia lebih baik berpura-pura bahwa Nathan sudah dimakan monster lalu dibuang ke laut sehingga ia tak perlu berharap akan ada penjelasan, atau pun kabar dari Nathan. Tapi status itu menghantuinya hingga detik ini.

Masih hidup.

Masih hidup lalu dimana? Kenapa tidak ada update sama sekali sejak kejadian itu? Kenapa dia tidak melanjutkan sekolah lagi? Tidakmenjalin hubungan kah di usia 23? Tidak coba bekerja?

 

______________

 

Aku tak pernah punya waktu.

Itu yang selalu menghantui pikiranku sejak berumur delapan tahun.

Kali pertama dokter bilang hidupku hanya akan bertahan dua atau tiga tahun lagi. Saat teman seumuranku sibuk memilih kampus apa yang kira-kira membuat mereka tidak jadi pengangguran lima tahun ke depan. Aku harus berpikir keras hanya untuk tetap hidup. Duniaku sudah ditentukan sedari awal. Ucapan seperti keajaiban bahwa aku melewati umur 17 tahun seringkali kudengar di rumah sakit. Tangisan ibu, wajah ayah. Semuanya terasa berat.

Hingga pada saat itu, hari terakhir di dermaga, tempat dimana aku bertemu dengannya untuk terakhir kali. Sebelum kesadaran benar-benar merenggut habis diriku.

Mulai dari hari itu, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Iya, kadang masih terdengar suara bisikan ibu. Iya, kadang suara keras ayah marah masih masuk ke telingaku. Tapi selebihnya, aku merasa kosong. Hitam. Hanya aku sendiri. Satu-satunya temanku hanyalah kenangan-kenangan, yang terputar bagai kaset rusak.

Shofi.

Oh ya, nama perempuan itu Shofi. Aku sudah berusaha mengingatnya sejak lama. Sebelumnya aku hanya mengingat wajahnya saja.

Dia sedang apa ya sekarang?


Posting Komentar

0 Komentar