Subscribe Us

header ads

"Terima Kasih"


Oleh: Ihya'

Bismillahirrahmanirrahim


            Indahnya alam di pulau Sulawesi tidak ada hentinya membuat mata terpukau. Perangai baik penduduknya pun tidak pernah jemu membuat seringai mengembang. Suku Mandar dengan segala kearifan lokalnya adalah satu dari sekian banyak kekayaan tak ternilai milik Bangsa Indonesia.

            Sore hari, bilamana mentari mulai tenggelam di balik perairan Selat Makassar sana. Pasang surut air yang menjelma ombak merefleksikan siraman sinar jingga. Angin bertiup ramah membelai dedaunan pohon nyiur yang tergerai. Pohonnya subur, buahnya lebat ramai, riap menghiasi pantai. Anak-anak kecil memainkan perahu sandeq mungil ditemani deburan ombak dan butiran-butiran pasir dengan wajah penuh kegembiraan.

            Ratusan meter dari garis pantai, di lingkungan perkampungan, seorang anak kecil terburu-buru meniti jalanan kampung, di kepalan tangannya ia bawa beberapa lembar rupiah. Badannya disaput baju takwa, kepalanya berpeci hitam bersahaja.

Anak itu Ucil namanya, ia baru saja pulang mengaji dari tempat Annangguru Harun. Badannya mungil, semungil mainan perahu sandeq yang akan ia beli di tempat Ammang Abdullah, destinasi yang kini sedang ia tuju. Ia harus bergegas sebelum matahari tenggelam. Karena bilamana matahari tenggelam, dia sudah harus tiba di rumah.

            “Assalamu’alaikum.” Ucil mengetok pintu rumah Ammang Abdullah. Belasan lopi-lopi alias perahu mainan dipajang di pelataran rumahnya. Warga sekitar juga menyebutnya sandeq-sandeq keccu. Ammang Abdullah adalah pengrajin mainan ini, pasarnya adalah anak-anak sekitar.

           Dari sisi dalam rumah, pintu terbuka, Ammang Abdullah menjawab salam, “Wa’alaikumussalam … ada apa, Kaco’?”

           “Mau beli lopi-lopi satu, Ammang.” Ucil menjulurkan uang kepada Ammang Abdullah. Senyum. Senang sekali si Ucil, setelah berusaha cukup lama akhirnya dia mendapatkan mainan ini.

            Perahu sandeq adalah perahu legendaris Suku Mandar, pedati laut yang ditarik hembusan angin di mana menjadi simbol ketangguhan dan kegagahan Suku Mandar dalam menjelajahi geliat ombak lautan yang ganas.

Berkat Ammang Abdullah, gagahnya perahu sandeq Suku Mandar bisa dirasakan oleh genggaman jemari anak-anak kampung sekitar dalam bentuk mini untuk bermain mengisi hari, menciptakan kegembiraan.

Ucil adalah anak yang rajin, baik di sekolah, di rumah, apalagi di tempat mengajinya. Sebagai bukti, di umurnya yang masih belia, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan fasih. Sekarang ia sedang berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an, di budaya Suku Mandar, masyarakat akan mengadakan tradisi Sayyang Pattuqdu bagi anak-anak yang sudah mengkhatamkan Al-Qur’an.

Sayyang Pattuqdu merupakan sebuah perayaan di mana para anak-anak pengkhatam Al-Qur’an akan diarak mengelilingi kampung di atas kuda hitam yang akan menari seiring dengan tabuhan rebana. Adat Sayyang Pattuqdu ada untuk menjadi motivasi anak-anak Suku Mandar untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Ucil karena hal ini menjadi semangat, ia berusaha maksimal ketika mengaji di rumah Annangguru Harun, ia membayangkan dirinya diarak gagah di atas kuda dan penduduk kampung menyaksikannya, seru sekali tampaknya. Tinggal beberapa juz lagi dia akan khatam, Ucil begitu antusias.

Ucil adalah anak yang ulet. Wujud keuletannya adalah usahanya untuk membeli lopi-lopi barusan. Anak mungil ini tidak sekonyong-konyong meminta uang dari Ayahnya demi memenuhi keinginannya, tapi ia menabung dari jauh-jauh hari. Ia menyisihkan sebagian uang sakunya dari sekolah untuk bisa memiliki mainan perahu sandeq dari Ammang Abdullah. Mainan ini adalah hasil tabungannya. Ia jaga sebaik mungkin, karena baginya mainan ini sangat berharga, seberharga usahanya untuk mengurangi uang jatah jajannya untuk ditabung.

Dengan mainan perahu sandeq di tangannya, Ucil sekarang menuju ke pantai. Beberapa minggu terakhir, mainan perahu sandeq sedang ramai dimainkan teman-teman Ucil. Mereka hampir setiap sore berkumpul bermain di atas basahnya pasir pantai yang dihiasi deburan ombak Selat Makassar. Ucil sebelumnya tidak bisa bergabung, ia belum punya mainan itu. Hanya menjadi penonton saja. Sekarang ia sudah punya. Segera Ucil menuju ke teman-temannya untuk ikut bermain.

Tergelincirnya matahari dari bentangan cakrawala seakan sengaja memberikan isyarat kepada Ucil bahwa sore ini dia belum bisa bermain di pantai. Perlahan langit biru menjelma jingga. Dia harus segera pulang, belum bisa ikut bermain kali ini, apalagi dia masih mengenakan pakaian takwa, namun di waktu yang sama dia ingin sekali langsung mencoba ketangguhan sandeq miliknya dalam menerjang ombak. Persimpangan jalan, belok kanan menuju pantai, ke kiri ke arah rumah. Mana yang Ucil pilih? Sayang, sekarang belum waktunya. Langkahnya diberhentikan oleh suara yang amat dia kenali.

“Nak,… mau ke mana?” Suara berat berkarisma itu membuat Ucil menoleh. Ternyata Ayahnya, Puang Mubarak. Pakaiannya rapi, di tangannya, sang ayah membawa tumpukan dokumen.

“Hmm… ke pantai, Ayah,” jawab Ucil seadanya.

“Sudah sore, Nak, sebentar lagi magrib. Ayo pulang, besok lagi ya mainnya.” Puang Mubarak melihat lopi-lopi di tangan anaknya, ia paham.

Ucil mengangguk dan berbalik arah mengikuti, ia anak yang taat. “Iya, Ayah.”

Ayah Ucil, Puang Mubarak adalah tokoh terpandang di masyarakat sejak bujangan. Sesosok penggerak yang baik, sesosok pemimpin yang bijaksana. Karena perangai baik Puang Mubarak, masyarakat desa memberinya kepercayaan untuk menjadi kepala desa. Banyak sekali kemajuan yang dibawa oleh Puang Mubarak. Baru saja beberapa hari yang lalu masa kepemimpinan Puang Mubarak habis. Ia purna tugas dari jabatan kepala desa setempat dengan meninggalkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dari mana ia datang? Ayah Ucil ini baru kembali dari kantor kepala desa, membawa pulang dokumen-dokumen pribadi yang masih tertinggal.

Malolo sanna’ lopi-lopi-nya itu, Nak,” Puang Mubarak memuji eloknya mainan Ucil. beli di mana? Ammang Abdullah?” tanya sang ayah.

“Iya, Ayah,” jawab Ucil. Ia mengangkat mainan perahu sandeqnya, ia perlihatkan ke ayahnya.

“Wahhh … ini hasil menabung kemarin?”

“Iya, Ayah.”

“Ucil harus selalu rajin menabung ya.”

“Iya, Ayah.” Jawaban yang sama.

Ayah Ucil tahu sekali betapa anaknya sangat ingin membeli mainan itu untuk bisa bermain dengan teman-temannya. Demi kebaikan anaknya, Puang Mubarak mendidik Ucil untuk menabung. Ada satu rahasia kecil, aslinya uang yang dipakai Ucil untuk membeli mainan di Ammang Abdullah tidak sepenuhnya hasil tabungannya, melainkan di akhir, ketika Puang Mubarak tahu bahwa anaknya sudah bersungguh-sungguh dalam menabung, sang ayah ini memberikan uang tambahan untuk anaknya.

Ketika ayah dan anak ini sedang berjalan berduaan, seseorang memanggil, “Puang Mubarak!” Seorang ibu-ibu tua yang berlari tergopoh-gopoh dari arah datangnya Puang Mubarak. Dari sengal napasnya, tampaknya ia sudah dari jauh mengejar mantan kepala desa ini.

“Ini, Puang, hanya ada ini, Puang.” Baupiapi makanan khas Mandar, berwadahkan rantang, bercita rasa manyamang sanna’, beraroma masarri sanna’ – enak sekali, harum sekali. Wanita tua barusan menyerahkan makanan itu sebagai pemberian ke Puang Mubarak. Ia tersenyum tulus sekali, Puang Mubarak turut membalas senyumnya takzim. Raut wajah bijaksana terpancar dari wajahnya.

“Saya duluan, Puang, semoga Puang dan keluarga selalu diberi kesehatan dari Allah.” Wanita tua tadi beranjak meninggalkan Puang Mubarak dan anaknya, Ucil.

Ucil sebagai anak tokoh masyarakat, seharusnya ia sudah terbiasa, tapi kali ini dia heran. Ucil heran kepada wanita tua tadi yang bersusah-payah berlarian hanya demi memberikan Baupiapi. Demi memberikan makanan ini saja dia harus berlari?

Puang Mubarak dan Ucil lanjut menyusuri jalan. Di atas saf pepohonan pesisir pantai, melambung tinggi belasan layangan lake. Layangan khas Suku Mandar itu menghiasi langit beserta meganya, alam Sulawesi semakin terlihat indah. Beberapa meter langkah dilalui, mereka mendapati anak-anak muda Mandar yang sedang duduk santai di depan sebuah rumah. Seorang pemuda berteriak memanggil ibunya dari dalam rumah seketika ia sadar Puang Mubarak melewati depan rumahnya.

“Kindo’,… ada Puang Mubarak, Kindo’, ada Puang Mubarak!” Pemuda yang satu ini sibuk memanggil-manggil kindo’nya. Anak muda yang lain mendatangi Puang Mubarak untuk bersalaman, wajah mereka canggung. Puang Mubarak menjabat tangan mereka, ayunan tangannya tegas, wajahnya tenang nan bijaksana.

“Ya Allah… Puang,… bawa sini cepat, nak.” Sesosok kindo’ yang tadi dipanggil-panggil oleh anaknya muncul. Dia menyapa Puang Mubarak. Di belakangnya, anaknya yang tadi heboh memanggil-manggil kindo’nya menyusul membawa sesuatu.

“Puang, ini, Puang, saya adanya cuma ini….” Ia menoleh ke anaknya. “Cepat sini, jangan buat Puang Mubarak menunggu lama.” Pemuda tadi menyerahkan sebuah kain terlipat untuk Puang Mubarak. “Semoga Puang dan keluarga diberikan rezeki yang melimpah, Puang, kami cuma ada ini.”

“Aamiin, Aamiin, ….” Puang Mubarak tersenyum lebar melihat senyuman tulus dari orang-orang di depannya. “Semoga yang lain juga diberi kelimpahan yang sama dari Allah. Saya duluan.” Puang Mubarak berpamitan.

“Iya, Puang, hati-hati. Hati-hati juga, Ucil.” Mereka berpisah.

Bagi Ucil ayahnya memang hebat. Untuk desa, ayahnya sudah banyak memberikan banyak hal. Ucil memahami itu, kendati masih mungil. Tak ayal masyarakat begitu menghormati ayahnya. Tapi ada apa dengan hari ini? Kenapa banyak sekali orang yang memberi ayahnya pemberian? Lihatlah sekarang, kedua tangan ayahnya penuh. Tangan kanan memegang serantang Baupiapi, tangan kiri memegang lipatan lipa saqbe. Kain indah yang ditenun oleh tangan-tangan terampil masyarakat Suku Mandar.

Apakah sudah sampai di situ? Tidak. Beberapa kali, perjalanan mereka terhenti oleh orang-orang sekitar yang memberikan Ayah Ucil hadiah. Kini tangan Ucil ikut sibuk membawa pemberian orang-orang, karena tangan ayahnya sudah penuh. Tangan mungil Ucil harus menyediakan tempat di samping mainan barunya. Ada banyak yang memberikan hadiah dengan berbagai rupanya, dari kecil hingga besar. Banyak sekali, ucap Ucil heran dalam hati.

Beberapa menit berlalu. Suasana semakin gelap, sesaat lagi adzan magrib akan berkumandang. Rumah panggung tempat tinggal Puang Mubarak juga si kecil Ucil telah menunggu. Bersahaja, damai, dan yang terpenting nyaman. Kayu-kayu yang membangunnya terlihat kokoh. Akhirnya sampai juga. Mereka segera menaiki anak tangga, berjalan masuk ke rumah. Ucil berusaha memperbaiki posisi barang bawaannya, hadiah-hadiah untuk ayahnya, dan mainan barunya yang harus dibawa dengan hati-hati.

“Puang!” Langkah Puang Mubarak dan Ucil terhenti untuk sekian kalinya. Ada seorang pria memanggilnya. Ia membawa seekor ayam. “Assalamu’alaikum, Puang Mubarak.”

“Wa’alaikumussalam….” Puang Mubarak mengerti. “Sebentar ya, tunggu sebentar. Ucil, sini, Nak, barang-barangnya.” Ia mengambil barang-barang dari tangan Ucil kecuali mainan barunya, ia masuk sebentar ke rumah untuk menaruh berbagai macam pemberian warga. Ucil menetap di depan rumah sambil melongo, wah… pasti ayah mau diberi ayam sama pria itu?

Puang Mubarak keluar, dia menuruni tangga, menghampiri pria tadi. Melihat Puang Mubarak yang menghampirinya, pria itu terlihat gembira sekali. Ia meringis lebar, gigi-giginya bersinar seterang kegembiraan di hatinya.

“Puang, saya tidak punya banyak, Puang, tapi ini dari saya.” Pria itu memberikan seekor ayam jago yang ia bawa untuk Puang Mubarak. Puang Mubarak menerima dengan baik, sosok teladan masyarakat itu tersenyum penuh wibawa. Betapa kegembiraan semakin melonjak ketika ayam jago pria itu diterima, ia langsung memeluk Puang Mubarak. “Semoga Puang Mubarak dan keluarga diberikan pahala atas semua kebaikan Puang.” Puang Mubarak mengamininya. Beberapa detik, pria tadi berpamitan lalu pergi. “Saya pamit, Puang, Assalamu’alaikum.”

 Dari atas, Ucil bergumam, Benar kubilang! Ayam! Ayah Ucil pun kembali naik kini di tangannya ada ayam. Ucil yang dari tadi duduk menonton di atas anak tangga mengkhayal, Ayamnya mau dipelihara atau mau dimasak ya …?

Puang Mubarak tidak langsung masuk ke rumah, ia duduk di atas anak tangga di samping anaknya Ucil. Sang ayah dari tadi memperhatikan ekspresi anaknya yang keheranan, dan kini raut heran itu semakin menjadi karena di tangannya kini ada seekor ayam jago.

Sang ayah bertanya kepada anaknya, “Kalau ada seseorang yang berbuat baik kepadamu, apa yang harus kamu lakukan untuknya, Nak?”

            Ucil mengernyitkan dahinya, berpikir sejenak, pertanyaan yang tidak sulit bagi Ucil, seorang anak yang rajin. “Hmm … kalau kata bu guru di sekolah, kita harus mengucapkan ‘terima kasih’ kalau ada yang berbuat baik kepada kita.”

            “Pintar, ‘terima kasih’ itu bahasa …?” Puang Mubarak mengajak anaknya untuk berpikir.

            “Bahasa Indonesia.”

            “Sekarang karena kita orang Mandar, apa Bahasa Mandar dari terima kasih?”

            Ucil menggaruk-garuk peci di atas kepalanya yang tidak (mungkin) gatal. Ucil anak yang rajin, dia juga banyak belajar hal tentang masyarakatnya seperti ini. Tapi apa ya? Apa Bahasa Mandar dari terima kasih? Terima kasih juga? Bukan. Ucil mengelus-elus mainan sandeq miliknya sambil berpikir.

            “Bagaimana?” tanya Puang Mubarak sambil tersenyum bijak.

            “Apa, Ayah? Ucil tidak pernah mendengar.”

            “Ucil tidak pernah mendengar karena memang tidak ada. Di Bahasa Mandar tidak ada kalimat ‘terima kasih’, Nak.”

            Ucil sudah belajar banyak di rumah, di sekolah, di tempat Annangguru Harun, tapi yang ini dia tidak pernah tahu. Sebuah hal yang sangat baru baginya. Dia bingung. “Kenapa tidak ada?”

            “Karena dalam budaya kita, kebaikan orang lain harus kita hargai dengan sebaik-baiknya, tidak cukup hanya dengan perkataan saja, maka banyak orang yang memberikan hadiah berupa barang secara langsung kepada orang yang berbuat baik kepadanya.” Kata demi kata diucapkan dengan seksama oleh Puang Mubarak, Ucil juga mendengarkan semua tadi dengan seksama.

            “Berarti itu budaya milik semua orang Mandar, Ayah?” Ucil bertanya.

            “Benar, Nak.”

            “Semuanya???” Memastikan.

            “Iya, semuanya.”

            “Berarti Ayah juga?”

            “Benar sekali, Nak, ayah juga. Contohnya, masyarakat desa ini, mereka sudah memberi ayah banyak sekali kebaikan, berarti ayah juga harus memberikan sesuatu untuk mereka, bukan?”

            Ucil mencerna dalam-dalam dan akhirnya mengerti. Ia mengangguk mantap. Berbagai macam hadiah yang diberikan orang-orang sepanjang jalan tadi adalah wujud ungkapan ‘terima kasih’ ala Suku Mandar. Mereka memberikan semua itu sebagai ungkapan ‘terima kasih’ karena kebaikan dari ayahnya semasa menjadi pemimpin desa. Siapa sangka? Puang Mubarak mengabdi untuk desa, memberikan banyak bantuan untuk masyarakat, ini juga merupakan ungkapan ‘terima kasih’ yang Puang Mubarak persembahkan untuk masyarakat yang sudah baik untuknya. Betapa sebuah perasaan hormat-menghormati, harga-menghargai, sayang-menyayangi, peduli-mempedulikan dijunjung tinggi dalam lingkungan yang baik nan bermoral ini, sampai berterima kasih pun tidak cukup bila diucapkan dengan kata-kata.

            Ucil memandangi mainan lopi-lopi berharga miliknya. Layarnya yang kecil bergerak-gerak tertiup angin yang berhembus. Ucil berdiri, mengangkat mainan itu, dengan senyuman ia menyerahkan mainan itu ke ayahnya, ayah yang hebat, sosok yang sudah mendidik dan mengajarinya banyak hal.

“Ayah, ini dari Ucil,” ucap Ucil dengan mantap, ia meniru raut ayahnya yang penuh karisma.

Puang Mubarak kaget karena tindakan anaknya. Berbalik, sekarang dia yang heran. Sesaat dia pun mengerti bahwa Ucil sedang belajar untuk mewarisi kearifan Suku Mandar dalam menyampaikan tulusnya sebuah ungkapan 'terima kasih'.


Picture: Jonathan Borba - unsplash.com



 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar