Subscribe Us

header ads

Sinar Yang Hampir Meredup

 


 



Oleh: Dzikri

Rintikan hujan yang terdengar begitu deras, angin yang sudah tidak bisa berkompromi, selimut tebal yang sepertinya sudah tak tahan melindungi tubuh ini. Terdengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinga ini. “Bangun, nak, adzan subuh sudah berkumandang, ayok segera ke masjid!” Panggilan lembut dengan penuh kasih sayang itu membuat kubergegas bangun dari tempat tidurku, mengambil payung dan segera pergi ke masjid. Padahal hujan lho.

Namaku Muhammad Zamrud, entah mengapa teman-temanku biasa memanggilku Jambred. Sekarang aku duduk di kelas 3 SMP. Aku terlahir di dalam keluarga yang cukup keras dalam beragama dan berpendidikan. Dari kecil aku sudah dimasukkan orang tuaku di lingkungan sekolah islam. Semasa perjalanan hidupku di bangku sekolah aku termasuk siswa yang berprestasi yang cukup membanggakan nama baik sekolah dan keluarga layaknya bintang yang bersinar terang. Kamarku cukup luas untuk menyimpan semua penghargaan-penghargaan atas semua prestasiku. Ini semua mungkin dari hasil didikan orang tuaku sejak kecil. Aku sangat bersyukur mempunyai keluarga yang sangat peduli akan pendidikanku, kebutuhanku, serta kehidupanku.

Aku seorang anak tunggal yang sedang beranjak menjadi dewasa. Rasanya, seperti tidak punya tempat untuk bercerita. pergaulanku yang selalu dibatasi oleh orang tuaku membuatku tidak banyak memiliki teman yang cocok denganku. Rasa-rasa, seperti kehidupanku semuanya berada di tangan orang tuaku. Dulu, aku anak yang sangat taat kepada orang tua, kini mulai terbenak dalam pikiranku “Mau sampai kapan aku di atur begini”. Aku mulai iri dengan teman-temanku yang kurasa mereka diberi kebebasan yang lebih. Seringkali aku diejek oleh teman-temanku dengan sebutan “anak mamah”. Namun aku masih berusaha tidak menanggapi hal-hal itu. Hari demi hari aku masih menunggu kesadaran orangtuaku bahwasanya aku sudah beranjak dewasa, aku masih berharap aku bisa diberi kebebasan seperti teman-temanku yang lain. Namun pengharapan itu hanya menghasilkan kekecewaan yang cukup mendalam.

Di suatu waktu aku mengikuti lomba olahraga basket antarsekolah. Aku dan teman-temanku berangkat ke tempat perlombaan menggunakan transportasi mobil, yang biasa kita sebut dengan sebutan “Angkot”. Seperti biasa, usai lomba ataupun latihan aku dan teman-temanku mampir di suatu angkringan langganan yang biasa kita sebut warung “Ummi”. Karena kata “ummi” yang tertulis di depan warung itu aku langsung terpikirkan ibuku yang biasa mengkhawatirkanku. Tidak kusangka waktu sudah menunjukan pukul 10 malam. Untuk orang sepertiku yang jarang keluar malam, itu sudah sangat larut untuk belum pulang ke rumah. Namun, aku berusaha bersikap biasa saja seperti teman-temanku yang lain. Tidak lama kemudian dikarenakan aku belum diberi kebebasan untuk memegang handphone sendiri, ibuku mencoba menghubungiku dengan menelpon temanku. “Eh, Jambred, emak lu nelpon nih di suruh balik katanya udah malem,” ucap temanku dengan bahasa gaulnya. Dengan menahan rasa malu, aku izin ke teman-temanku untuk pulang terlebih dahulu. Sialan. Sesampainya aku di rumah, seperti biasa ibuku marah dengan caranya sendiri. Diam tanpa berkata-kata adalah gaya khas marah ibuku yang sudah biasa.

Seperti biasa, di penghujung tahun ajaran, para orang tua berdatangan ke sekolah untuk menjemput rapor hasil anaknya masing-masing. Setibanya orang tuaku di rumah, aku dipanggil oleh orang tuaku. Kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yang biasanya aku melihat senyumah indah dengan penuh bangga di wajah ibuku, tapi kali ini tidak. Perasaan cemas bercampur kecewa yang tertampak di wajah ibuku layaknya melihat sinar bintang yang meredup. “Ada apa dengan kamu, nak?” pertanyaan terlontar dari mulut ibuku. “Kemarin-kemarin nilai kamu bagus, sekarang kamu makin dewasa bukannya malah tambah bagus kok malah tambah anjlok…,” ucap ibuku dengan nada sedikit tinggi.

Aku yang bingung ingin menjawab apa, langsung bergegas ke kamar dan menutup pintu. rasanya seperti tidak ada yang mengertiku dalam kondisi seperti ini, orang tua yang hanya bisa memberi over-nasehat tanpa pernah mencoba mengajakku mengobrol untuk lebih memahamiku. Itulah yang terngiang-ngiang di dalam pikiranku. Di saat itulah aku mulai merasa kurang mendapat perhatian dari keluarga, yang kudapat hanyalah tekanan dan tuntutan. Dari sinilah aku mencoba dengan kehidupan baruku, aku bergaul dengan teman-teman yang menurutku asyik dan dapat membuatku nyaman. Hari demi hari, waktu libur kuhabiskan dengan teman-teman yang kurasa posisinya saat ini lebih penting dari keluargaku sendiri. Di saat itulah aku mulai mendapat kebahagian di luar rumah, aku mendapatkan tempat untuk bercerita, aku dapat berkeluh kesah dengan mereka, bahkan sampai masalah keluarga pun aku ceritakan kepada mereka. Seakan-akan seperti sudah tidak butuh keluarga lagi, yang dibutuhkan hanya uang yang dihasilkan dari jerih payah mereka saja.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun telah tiba, aku yang sudah berani pergi tanpa izin orang tua, langsung bergegas keluar rumah untuk pergi ke puncak bersama teman-temanku dalam rangka merayakan kelulusan kita bersama. Kami berangkat menuju puncak – salah satu destinasi di Bogor – menggunakan kendaraan masing-masing, tetapi tidak dengan aku. Aku menaiki sepeda motor temanku yang aku boncengi. Angin sepoi-sepoi arah puncak yang menemani perjalanan kini membuatku mengantuk, seperti rasanya ingin berbaring di atas kasur empuk yang ditemani udara dingin air conditioner (AC). Tanpa kusadari ternyata benar aku sedang berada di atas kasur empuk yang ditemani udara dingin air conditioner (AC). Namun kali ini dengan kondisi yang berbeda, lebih ramai ditemani dengan selang kecil infus dan gulungan gulungan perban.

Tampak buram di mataku yang berdempetan dengan perban di kepala, dua sosok yang pernah kulupakan keberadaannya dan sudah kuanggap tidak peduli lagi kepadaku. Tapi apa, lantas bukan mereka, siapa lagi yang senantiasa meluangkan waktunya untuk menemaniku di dalam kondisi seperti ini. Tanpa kusadari, tetesan air mata mulai membahasi pelipis mataku, sebagai rasa penyesalan atas apa yang sudah kupikirkan dan kuperbuat kepada mereka.

Hari berganti hari, hanya mereka yang setia menemaniku yang tak bisa berbuat apa-apa di atas ranjang, terasa seperti bayi yang mendapat kasih sayang pertama dari kedua orang tuanya. Yang terbenak di dalam pikiranku sekarang “Apakah aku mampu menjadi mereka di saat mereka yang berada di posisiku sekarang”. Semakin hari kondisiku semakin membaik dan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren, sesuai yang sering aku dan orang tuaku diskusikan saat aku masih kecil. Dan aku berjanji kepada orang tuaku  kelak akan mengubah sinar yang hampir redup kemarin akan bersinar kembali seperti dulu.

Lantunan ayat suci dari masjid terdengar cukup menyejukan hati ini. Tak terasa aku pun sudah berada di dalam kampung nan damai ini. Rasa penyesalan itu masih terngiang-ngiang di pikiranku. betapa egoisnya aku, yang hanya ingin diperhatikan dan diperlakukan dengan baik. Tanpa memikirkan apa yang sudah kulakukan untuk mereka yang semakin hari semakin menua, dan aku menyadari bahwa keluarga itu lebih penting dari pada segalanya, seperti yang biasa kita sebut, keluarga adalah harta yang paling berharga.

Aku tersenyum mengenang masa itu….

Keluarga… suatu kata yang penuh arti untukku.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar