Subscribe Us

header ads

Kemeja Biru

Oleh: Ihya’


Bismillahirrahmanirrahim.

Ting,… ting,… ting!

Denting bel sepeda menggetarkan penjuru kampus. Tepukan tangan menyusul bersahut-sahutan. Ditambah suara Al-Akh pengurus yang menggelegar dengan Bahasa Inggris, meminta adik-adiknya untuk bergegas. Udara sejuk pagi hari memang selalu memanjakan. Beberapa detik yang lalu, satu-dua kepala santri manggut-manggut, mengantuk. Sebagian lain syahdu dalam bacaan sambil menyangga kantung matanya yang terasa semakin berat. Sekarang tidak ada lagi sedikit pun kantuk di mata mereka. Seusai membaca Al-Qur’an para santri segera kembali ke dalam kamarnya masing-masing. Akas bak prajurit.

Di dalam kamar berlantai putih, mereka menuju ke kotak pakaian. Berganti pakaian dari baju shalat ke kaos rayon dan celana training. Dalam lima menit mereka harus selesai. Hitungan detik sangat berarti. Kantung mata rasanya masih berat, tapi santri harus kuat. Kaos rayon setengah wangi dibumbui dengan tambahan parfum, supaya tidak lagi setengah-setengah harumnya. Banyak yang mengenakkan jaket, mengingat hawa masih terlalu dingin bagi sebagian orang.

Empat menit. Buku tulis khusus diraih dari tumpukan buku. Pena diselipkan di saku celana. Papan nama juga tidak boleh terlewat, disematkan di dada sebelah kiri.

Tiga menit. Beberapa orang mengarah ke pecahan cermin yang ditempel di dinding. Sisir beroleskan minyak membajak rambut-rambut agar lebih necis. Yang tidak punya sisir mengantre, menunggu temannya, lalu meminjam bergantian. Tidak sedikit juga yang enggan mampir ke cermin, masa bodoh dengan penampilan. Mau kusut, mau keren, siapa yang bakal peduli? Tidak wajib, hanya pilihan.

Dua menit. Sisanya ke rak sepatu. Pintu rak dibuka, semerbak wanginya langsung tercium. Wangi sekali. Sepasang kaos kaki dikeluarkan dari dalam sepatu lalu dilekatkan ke kaki.

Satu menit. Sepasang sepatu di tangan kiri, buku tulis di tangan kanan. Santri-santri ini berlarian keluar dari rayon masing-masing menuju ke satu titik. Sedari hari Kamis, kegiatan para santri sangat padat. Latihan pidato Bahasa Arab, kegiatan kepramukaaan, latihan pidato Bahasa Inggris. Tak bisa dipungkiri rasa lelah menguasai, namun kantuk harus dilawan, letih harus ditahan.

Lima, empat, tiga, dua, dan terakhir, satu. Yang terlambat pasti dihukum. Inilah rutinitas setiap Jum’at pagi di ‘kampung damai’.

Ketika anggota rayon berlarian dari kamar ke luar asrama, ada satu anak yang berbeda, lain dari teman-temannya. Dia kembali dari suatu tempat ke arah kamar dengan rambut basah, kulit lembap, gayung di tangan kanan dan handuk di tangan kiri. Benar sekali, anak ini selesai mandi.

Anak itu melintas jalan, melawan arus. Pengurus dan anggota rayon yang melihatnya tidak merasa aneh seraya, oh dia. Anak ini juga melewati teman-temannya dengan ekspresi biasa. Tidak berselang lama, sesampainya anak yang melawan arus ini sampai di kamarnya, rayon dan keadaan sekitar hening. Para santri sudah pergi berkumpul di depan aula untuk kegiatan bahasa mingguan.

Kalau para santri sedang khusyuk mengikuti acara bahasa, lantas apa yang dilakukan anak ini? Kenapa dia berbeda? Siapa dia? Namanya Fadhil, anak kelas 4 KMI, seorang santri yang rajin dalam belajar bahasa. Dia salah satu anggota Istirqa’. Dia sedang bersiap untuk menjalankan perannya sebagai anggota Istirqa’.

Fadhil pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan santri lainnya, lipatan kantung matanya tidak bisa berbohong. Di momen seperti ini ia terbayang betapa nikmat dan empuknya kasur yang ada di rumahnya. Ilustrasi bantal guling dan selimut tebal menggoda. Tidak tidak, dia berusaha mengusir kantuk dan godaan itu dari kepalanya. Harus kuat.

Ia merogoh kantong celananya, jemarinya meraih kunci gembok. Dapat. Kunci mungil yang didapatnya langsung ia gunakan untuk membuka gembok yang sama mungilnya. Gembok terbuka. Pintu kotak pakaian turut terbuka. Dia siap berganti pakaian. Anak kelas 4 KMI bertubuh mungil itu mengambil baju dan celana dari lipatan, tapi yang ia ambil bukan kaos rayon dan celana training. Melainkan kemeja biru bersih dan celana bahan yang benar-benar wangi. Langsung dia pakai. Kancing demi kancing, juga resleting dan ikat pinggang kulit warna hitam. Belum selesai, dari gantungan pakaian dia keluarkan dasi dan rompi. Dasi dililitkan di leher, rompi membalut tubuh. Warnanya serasi, serba biru-biru. Sentuhan akhir, wewangian. Meski pakaiannya sudah harum, berwewangian tetap keharusan. Begitu juga dengan minyak rambut, untuk dia itu bukan pilihan, wajib. Sekarang dia mengambil sepatunya dan kaos kaki. Dipakainya kaos kaki hitam itu. Lalu sepatunya yang sudah hitam, ia semir supaya semakin pekat hitamnya. Lengkap sudah, kini Fadhil sudah siap bertugas.

Istirqa’, perkumpulan yang dibentuk oleh Bagian Penggerak Bahasa Pusat, dengan fungsi sebagai asisten bagian. Anggota-anggotanya didik untuk cakap menjadi teladan di setiap rayon di penjuru kampung damai dalam berbahasa. Karena keteladanan adalah hal terpenting untuk mewujudkan lingkungan berbahasa. Harus kuat.

Fadhil adalah satu dari sekian anggotanya. Lihat dia sekarang, berjalan di jalanan pondok yang lenggang. Kemeja biru kebanggaan yang terbalut rompi biru tua memberinya sebuah wibawa. Dasi berwarna serasi yang melilit leher menjadikannya terlihat rapi. Sepatu hitam mengkilap menambahkan kesan perlente. Walau jalanan sudah lenggang, bukan berarti dia boleh melenggang. Dia juga harus bergegas. Berjalan cepat setengah berlari. Angin pagi berhembus menemani. Di sana, di depan gedung Santiniketan, anak-anak lain yang berkemeja biru dengan rompi sudah berbaris rapi. Demi melihatnya, Fadhil sekarang tiga perempat berlari. Sampai di tujuan, dia bergabung.

Am i late?” tanya Fadhil kepada Ihya’.

Ihya’, temannya, ia melihat ke jam tangan. “Almost.”

Alhamdulillah, fortunately,” ucap Fadhil sambil menghembuskan nafas lega. Anak berkemeja biru ini merapat ke barisan.

Di dalam barisan, berkumpul santri-santri yang mumpuni dalam berbahasa asing. Berpenampilan penuh kerapian menjadi kewajiban. Sudah berkali-kali pembimbing mereka menekankan hal itu. Namun tak bisa dipungkiri, kepolosan sebagian mereka tidak bisa dihilangkan. Beberapa dasinya miring, baju maupun celananya kebesaran atau kekecilan, ada juga yang berantakan rambutnya.

Secara fisik tidak semuanya terlihat besar, kekar, gahar. Sebagian besar malah badannya kecil, ada juga yang kurus kering. Fadhil sendiri badannya juga kecil. Kendati demikian, mentalitas dan karakter mereka ditempa sedemikian rupa. Badannya boleh kecil, tapi jiwa mereka selamanya besar. Terbukti, teman-teman mereka dijamin melongo setiap kali mendengar kalimat-kalimat Bahasa Arab dan Inggris keluar dari lisan mereka. Memang kalau masalah bahasa, di antara para santri, anak-anak Istirqa’ memang tiada duanya.

Dari lantai dua gedung Santiniketan sang pembimbing memanggil tiga-empat anggota. Diminta untuk naik. “Ihya’, Fadhil, Haekal, Krisna, come here.” Keempat anak itu bergegas menaiki tangga, menuju ke lantai dua. “Please bring all of these stuffs,pinta sang pembimbing, dia menunjuk barang-barang di atas meja.

Fadhil melihat kepada barang-barang yang ditunjuk oleh Al-Akh pembimbing, tampak banyak dan berat-berat. Ada kado, piala untuk penghargaan mingguan di bidang bahasa, dan beberapa barang lainnya yang perlu di bawa ke depan  Aula – BPPM, tempat acara bahasa. All of these, sir?” tanya Fadhil, memastikan, semoga tidak semuanya.

Yes, all of them. Bring them carefully, okay?!” kata pembimbing itu menasehati agar membawanya hati-hati.

“Alright, sir,” jawab Fadhil sambil menggangguk, ternyata iya, semuanya. Namanya juga asisten bagian, kalau pengurus bagiannya meminta bantuan seperti ini pastinya juga harus dilaksanakan. Benar saja, barang-barang itu lumayan berat. Harus kuat.

Dua-tiga anak yang naik tadi turun kembali ke barisan dengan menenteng barang-barang tadi. Ketua dari mereka maju, merapikan barisan serapi-rapinya. Langsung, dia memimpin anggotanya ke arah aula. Kemeja biru langit, seragam kebanggaan berjalan tegas membelah keheningan. Tidak kalah penting, kamus tebal tergenggam di tangan-tangan mereka dengan jilidan sampul yang juga berseragam.

Sampai di depan aula, para santri sudah tenggelam memperhatikan pemaparan materi dari Al-Akh Bagian Penggerak Bahasa. Mereka duduk di depan aula sampai pelataran Aligarh. Melebar sampai ke depan tangga masjid. Mungkin bisa di bilang tempat inilah alun-alunnya Gontor. Santri yang menyimak sesekali menggerak-gerakan jemari tangannya, membuat catatan. Lembutnya angin pagi membuai tak terhindarkan, menjadikan sebagian ditimpa kantuk. Al-Akh CLI tidak kehabisan cara dengan anak-anak yang mengantuk ini. Dia berkoar



penuh antusias menjadikan suasana terasa asyik, tak lupa mengajak para audiens untuk ikut larut dalam semangat itu. Gambar-gambar cahaya yang bergerak di layar membuat pelajaran semakin seru.

Ketika teman-teman mereka duduk, anak-anak Istirqa’ ini berdiri berkeliling untuk membantu menyukseskan acara. Mereka membangunkan teman-temannya yang mengantuk (walaupun mereka juga mengantuk), mengajak santri lain berinteraksi seputar materi, meramaikan suasana dengan membagikan stiker-stiker motivasi atau permen. Namanya juga teladan, maka harus bisa memberikan contoh yang baik. Fadhil berdiri tegap, berusaha maksimal menjalankan tugasnya sembari bersusah payah mengusir bayangan nikmatnya kasur, guling, dan selimut dari kepalanya. Harus kuat.

Detik demi detik menitik. Matahari semakin menyingsing, sinar dari proyektor takluk, gambar cahaya di layar memudar. Acara bahasa usai. Para santri berpencar, mayoritas ke titik awal lari pagi, sisanya memenuhi tugas masing-masing. Anak-anak Istirqa’ tidak ke sana (belum). Lagi-lagi mereka melawan arus. Kumpulan santri berkemeja biru nan istimewa itu melangkah ke panggung. Berbaris rapi. Dari depan Al-Akh fotografer melambaikan tangan, isyarat untuk bergeser. Di panggung, tidak hanya ada anak-anak Asisten Bagian Penggerak Bagian Bahasa. Guru-guru pembimbing bahasa, Staf Bagian Penggerak Bahasa, Ketua Penggerak Bahasa Rayon, dan lainnya ikut bergeser-geser menyesuaikan posisi mengikuti arahan sang fotografer.

Oke, satu, dua,... Cisss. Pengabadian momen katanya, senyum mengembang di wajah mereka semua, khususnya anak-anak ingusan itu. Tiada lelah yang terlihat, semuanya disembunyikan di sudut pelupuk mata. Bagi mereka ini suatu kehormatan, bisa dengan santai berpose sedekat ini dengan sosok-sosok yang konon ditakuti oleh banyak santri. Santri mana yang tidak mendadak bisu setiap kali orang-orang ini lewat. Tapi lihatlah Istirqa’, mereka tanpa beban, tersenyum, tertawa, bahkan bergurau.

Perfotoan bubar, para guru berpencar, sebagian menunggang motor, sebagian lain bersepeda, ada juga yang berjalan kaki. Keramaian berpindah ke depan Masjid ‘Atiq. Di depan aula juga masih ramai, ramai akan gerombolan santri yang bergotong royong merapikan tempat acara bahasa barusan. Di antara gerombolan santri berkaos rayon, ada anak-anak berkemeja biru yang ikut bahu-membahu mengangkat dan memindah-mindahkan barang. Harus kuat.

Pekerjaan berat tunai, anak-anak berkemeja biru ini merapat membuat lingkaran. Pembimbing mereka membacakan absen, memberi evaluasi, menyampaikan arahan untuk aktivitas ke depan. Semua anggota perkumpulan itu berdiri tegak. Apakah masih ada rasa letih? Tidak bisa dipungkiri, masih ada. Petuah demi petuah ditumpahkan. Kegiatan Jum’at pagi untuk Istirqa’ sampailah di penghujungnya. Pertemuan bubar, anggota berpencar. Ke mana perginya anak-anak berkemeja biru ini? Istirahat? Tidak, setelah ini lari pagi bersama teman-teman lainnya. Harus kuat.

Fadhil beranjak dari tempat. Badannya berat sekali, kegiatan beberapa waktu terakhir menguras tenaganya. Nafsunya membisikkan godaan, betapa nikmatnya sensasi tidur di atas kasur. Tapi apakah dia menuruti godaan itu? Tidak. Dia harus kuat. Dia bergegas melangkah ke rayon, berganti dengan kaos dan training. Tak lupa sepatu lari. Fadhil berlari-larian ke titik kumpul lari pagi, tidak boleh tertinggal oleh rombongan rayon. Apakah dia mengeluh? Tidak. Dia tersenyum sebab baginya, bukan beban ringan yang ia cari, melainkan tumbuhnya kekuatan di dalam diri. Dalam hati dia berkata untuk dirinya sendiri, Fadhil, ubahlah kata lelah menjadi lillah.

 

 

 

 



Posting Komentar

0 Komentar