Subscribe Us

header ads

Aku Tak Berbeda, Hanya Tak Sempurna

Oleh : Aida 

Jeritan seseorang dari dalam rumah terdengar sampai sudut pos satpam daerah rumah tersebut, “Aaaa .… Semuanya saja kerja! Buktinya bisa huh, kalian bisa kalau seperti itu. Maka, aku juga bisa! Lihat saja nantilah!” Karena jeritan anak ini yang tidak menentu, suasana sekitar kadang ramai kadang sunyi.

Namanya Sabri, remaja ‘luar biasa’ berumur 19 tahun yang sangat pandai dalam menghafal, terkhusus saat menghafal Al-Qur’an. Bahkan, ia pernah memenangkan lomba hafalan Al-Qur’an antar provinsi walau dengan keterbatasan yang dimilikinya. Badannya berisi, tinggi, warna kulitnya coklat sawo matang dengan kumis tipis yang tumbuh di wajahnya. Sabri adalah salah satu dari banyaknya kaum adam yang lahir tanpa kesempurnaan. Ia terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus. Umurnya memang bertambah, badannya memang berkembang, namun akalnya masih di umur anak kecil, atau bahkan balita? Bukan hanya kalimat yang keluar dari lisannya, pikiran yang ada di dalam kepalanya pun tak tertata.

Tak lama setelah jeritan itu berhenti, terdengar nada penuh kelembutan dan kesabaran seseorang berucap untuknya, “Ibu tahu, Adik mau kerja, tapi Dik, di zaman yang seperti ini, bekerja itu tidaklah mudah, semua butuh seleksi. Ibu usahakan cari kenalan dari teman-teman ibu yang mungkin bisa membantu memberikan peluang lapangan pekerjaan yang cocok untuk Adik ya. Adik perbanyak doa agar bisa kerja seperti kakak, dan urusan kita semua dimudahkan oleh Allah.

Keesokan harinya, kadang hal seperti ini terus terulang. Sabri marah, merasa dunia tak adil baginya, ibunya terus datang kepadanya untuk selalu mengulang penjelasan, pemahaman penuh ikhlas kepada Sabri. Ini bukan perkara hidup yang perlu dikasihani, baik dalam sudut pandang yang ditujukan kepada Sabri ataupun ibunya.

Malam ini, tepat pada pukul 12 malam adalah tanggal dan bulan di mana Sabri dilahirkan di dunia ini, keluarganya bukan tipikal keluarga yang merayakan ulang tahun dengan penuh kejutan di dalamnya. Lalu, apa arti kelahiran Sabri bagi mereka? Apakah mereka mendoakan dengan penuh ketulusan dari dalam hati mereka untuk Sabri? Apakah kelahiran Sabri adalah sesuatu yang perlu mereka ingat dan abadikan?

Pagi itu, Sabri dibangunkan oleh ibu. “Anakku Sabri, bangun Nak, ayo shalat tahajud dulu! Jangan lupa berdoa sama Allah. Ingat ya, mendoakan diri sendiri, keluarga, dan umat Islam tentunya.”

Pandangan dari mata Sabri yang gelap, seketika berubah terang melihat wajah ibu yang ada di hadapannya. “Iya, Bu, Sabri segera akan bangun,” ucapnya sembari berusaha duduk dari posisi tidurnya.

“Baiklah, sehat selalu dan panjang umur ya, Nak,” lanjut ibu.

“Aamiin, banyak makasih, Bu,” jawab Sabri berusaha menata ucapannya.

Ketika pagi menjelang siang, ibu sudah sibuk di dapur dengan serba-serbi bahan dapur yang telah ia beli dari jauh-jauh hari. Tak lama kemudian, wangi nasi kuning dari dapur sudah tercium membangunkan Sabri yang tertidur lelap setelah melaksanakan shalat subuh tadi pagi.

Sabri terbangun dari tempat tidur, melipat selimutnya, kemudian memanggil ibu seraya bergegas menuju dapur untuk mencuci muka dan tangannya. “Ibu.... Ibu Nasi kuning aku mau ini? Ibu buat mau aku? Aku mau nasi kuning ulang tahun yang ini?” Seperti biasanya kalimat tak tertata terucap dari lisan Sabri. Tapi, kali ini berbeda, itu bukan nada tinggi kemarahan atau perasaan tak adil akan kehidupan. Itu kebahagiaan dari anak ‘luar biasa’ yang tak menyangka akan perhatian yang diberikan kepadanya. “Aku sudah bertambah umur, sekarang umurku sudah 20 tahun, aku dianggap.” Mungkin itu yang didambakan dari dalam hati.

Ciiitt... suara kulkas berkarat dari arah kanan rak dapur dibuka oleh Mutinah, kakak Sabri. “Dik Sabri, barakallah fii umrik,” ucap Mutinah sambil meletakkan pudding yang baru saja ia ambil dari kulkas berkarat tadi.

 Mutinah adalah kakak Sabri, ia alumni salah satu universitas ternama, dengan kesungguhannya dalam menuntut ilmu, ia belajar di bersamai bantuan beasiswa penuh dari berbagai lembaga. Namun, hal itu tidak memuaskan tekadnya untuk terus memberikan manfaat lebih bagi keluarganya, sehingga di tengah kesibukannya dalam menuntut ilmu, ia masih meluangkan waktunya menjadi guru les privat di sekitar daerah rumahnya, demi membantu biaya pengobatan adiknya. Itulah Mutinah, kakak Sabri yang membangkitkan semangat Sabri agar menjadi anak baik yang bermanfaat bagi keluarganya.

“Terima kasih, kak, tambah umur punya adik, Alhamdulillah, bentar lagi bisa kerja... bisa? Pastikan bisa?” jawab Sabri dilanjut dengan pertanyaan kepada kakaknya.

“Ehehehe, Dik Sabri, Jangan memikirkan soal kerjaan dulu ya, ayo kita makan nasi kuning dan pudding sama-sama,” jawab Mutinah.

“Huh! Tapi? Loh?” Sabri mulai dengan nada tinggi.           

“Adik harus bahagia hari ini, tahan emosi, tidak boleh marah.” Mutinah memegang pundak Sabri sambil tersenyum.

“Ya, ok baiklah, panggil ayah dulu ya kan?” Sabri menata kata dan merendahkan nada bicara seraya berjalan menuju ruang tamu.

Di ruang tamu, ayah sibuk membaca koran dengan segelas teh di atas meja kayu berwarna coklat. Sabri mengajaknya. “Ayah, makan nasi warna kuning, ayo Ayah….”

“Iya, Nak, ayo kita makan.” Jawab ayah setuju.

Ibu memanggil, “Sabri, Ayah, ayo makan dulu ….” Ayah dan Sabri memenuhi panggilan ibu, mereka beranjak pergi menuju ruang makan.

Setelah semua berdoa bersama untuk bertambahnya usia Sabri. Mereka bersiap makan nasi kuning buatan ibu,  itu adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh Sabri.

“Ayo semuanya kita makan, Kak Mutinah, bantu ibu membagi nasi kuningnya ya,” ucap ibu.

“Iya, Bu, siap, Mutinah bantu ya.” Mutinah menyiapkan piring.

“Sabri, sambil menunggu nasi kuning, Sabri boleh bercerita ke ayah, ibu, dan kak Mutinah,” ucap ayah lembut dengan senyum lebar di wajahnya.

“Baik,” jawab Sabri penuh semangat.

Ini bukan kali pertama ayah mempersilakan Sabri untuk bercerita, tradisi yang sudah mereka lakukan dari sepuluh tahun lalu, sejak umur Sabri 7 tahun, terkhusus di hari ia bertambah usia.

Sabri mulai menceritakan berbagai alasan mengapa ia marah, dan ingin bekerja, seperti biasanya, ia berbicara dengan kalimat yang berusaha ditata, namun, kali ini terdengar lebih banyak pengulangan dari lisannya. Ada satu poin yang bisa diambil dari perkataan Sabri. “Sabri harus bisa mandiri seperti Kak mutinah, bekerja selayaknya manusia yang sedang berkhidmah untuk keluarganya juga dirinya sendiri.” Mungkin itu yang selama ini dipikirkan oleh Sabri, dan dengan pemikiran yang seperti itu, memang perlu adanya pertimbangan juga nasehat dari keluarganya, sebagai bentuk dukungan tanpa mematahkan semangatnya, walaupun harus selalu sabar dengan sikap Sabri, yaitu emosinya yang tidak terkontrol, juga sikapnya yang selalu memaksakan semua hal harus berjalan sesuai dengan yang ia inginkan.  

Tahukah kalian? Kisah mereka bukan hanya itu, kebahagiaan mereka bukan untuk dilihat hanya dari satu sudut pandang. Bukan hanya karena Sabri yang dipersilahkan untuk bercerita akan suasana hatinya, atau kemampuan hebatnya dalam menghafal Al-Qur’an, maupun keluarganya yang sabar akan sikap Sabri walau dengan keterbatasan yang Sabri miliki.

 

***

 

Dua puluh tahun lalu, di hari kelahiran Sabri. Gadis kecil berumur 5 tahun bernama Mutinah tertidur lelap di kamarnya, ibunya yang sebentar lagi harus melahirkan calon adik gadis kecil itu, terpaksa harus meninggalkannya sendiri di rumah, ibu duduk menahan rasa sakit, dan menunggu kedatangan suaminya.

Ayah datang terengah-engah. “Ibu, ayah sudah coba mencari tetangga yang punya mobil untuk dipinjam, tetapi tetap saja belum nemu Bu, taksi bahkan angkot juga belum ada,” ucap ayah ngos-ngosan penuh kekhawatiran.

“Ayah yang tenang ya, ini memang harinya orang berlibur, besok adalah hari raya, banyak tetangga yang pulang kampung juga. Sudah ya, kita ke rumah sakit pakai motor saja,” jawab ibu dengan tenang. Sungguh suatu pemandangan yang tidak mungkin terbayangkan, seorang ibu hamil yang dalam keadaan darurat mampu berbicara setenang ini.

“Tapi, Bu….Ayah khawatir.

“Ayah, bisa kok, ibu juga bisa menahan sakitnya.Ibu meyakinkan bahwa dia kuat.

“Baiklah.Ayah percaya.

Mereka pun berangkat, dengan sebuah motor kecil yang dipaksa keadaan harus ditunggangi oleh ibu hamil berperut besar, bersama suaminya. Di persimpangan jalan menuju rumah sakit, dalam suasana sunyi dan langit yang masih gelap. Tiba - tiba terlihat dari kejauhan mobil yang tampaknya kehilangan kendali seakan remnya sudah tidak berfungsi, dan benar adanya, mobil itu tetap melaju kencang ke arah mereka sehingga menyebabkan benturan yang cukup keras. Tak berjeda lama dari benturan itu suara sepeda motor melaju kencang dari arah depan, dan berhenti tepat di depan ayah.

Ngengg... Brukkk!!! Suara keras itu? Apa itu suara benturan? Dari arah mana? Pikir Ayah kemudian menutup matanya.

Pagi hari di kala semua umat Islam bersiap melaksanakan shalat Idul Fitri, ayah terbangun di kamar salah satu rumah sakit dalam keadaan kepala pusing, badan yang terasa mati rasa tak bisa digerakkan, tapi, di pikirannya hanya satu, istrinya mana? Dan bagaimana keadaannya dengan calon buah hati mereka?

“Tolong, siapa pun tolong!” Ayah berteriak dengan penuh kekhawatiran.

“Iya Pak, ada apa, Pak?” Seorang perawat segera masuk, dan menanyakan keadaannya, tak lama datang seorang dokter yang telah dipanggil untuk menyusul.

“Istriku bagaimana? Anakku bagaimana?” Ayah bertanya.

“Setelah kecelakaan yang menimpa bapak dan istri bapak, muncul traumatic, berupa shock akibat ketegangan kejadian kecelakaan yang di alami sebelum melahirkan, ini biasanya dikenal dengan istilah syndrome baby blue, yaitu depresi yang dialami setelah melahirkan bayi, dan itu bisa menyebabkan trauma akibat benturan pada kandungan saat kehamilan. Kami masih terus memberikan alat bantu kelahiran meskipun tidak seluruhnya, karena hal itu dapat menyebabkan kecacatan otak (brain injury). Tapi, Pak, alhamdulillah istri, dan anak bapak selamat.Dokter dan perawat menenangkan.

“Alhamdulillah, ya Allah” Ayah lega.

Suasana sunyi sejenak. Tiba-tiba .… “Tapi suster, kenapa kaki saya mati rasa ya?” tanya ayah tenang.

“Pak, kemarin atas persetujuan istri bapak, kami mengamputasi kaki bapak setelah berbagai pertimbangan akibat kecelakaan yang bapak alami.” Dokter menjelaskan panjang lebar mengenai keadaan Ayah, ditemani oleh perawat yang siap sedia menenangkan pasiennya.

“Alhamdulillah,” ucap ayah sambil melihat kakinya yang tertutup oleh selimut. Ini respon ayah kala itu? Seberapa serius seorang ayah mengontrol emosinya? Sudahkah tergambar bagaimana kehidupan keluarga ini? Kecelakaan itu bagaikan keajaiban untuk ayah, bagaimana bisa Allah beri nikmat keselamatan untuk anak dan istrinya? Padahal ia bahkan harus diamputasi karena kecelakaan itu. Mungkinkah sebagian dari naskah ini adalah kisah nyata bak ilusi semata?

Ayah dengan kursi rodanya setelah kisah amputasi kaki yang ia alami harus berhenti menjadi PNS, ia menafkahi keluarganya dengan tunjangan dan uang pensiun dini yang tidak seberapa besar.

Ibu dengan mental kuatnya akan kenangan tak baik yang harus ia alami ketika melahirkan anaknya, ia tetap semangat bekerja membantu ayah karena keterbatasan ayah dalam mencari nafkah, demi mencari biaya pengobatan rutin untuk Sabri dan biaya sekolah untuk Mutinah meski ia selalu mendapatkan beasiswa.

Mutinah dengan sikap tabahnya atas kejadian yang harus ia ketahui dari kecil, tetap hidup dengan senyuman lebar penuh semangat, segala usaha yang ia lakukan demi memberikan manfaat bagi keluarganya menjadikan dirinya sosok kakak teladan bagi Sabri.

Dan Sabri, dengan nama yang berarti sabar, akan terus mengingatkan keluarganya apa itu makna sabar yang seharusnya, dengan kesabaran penuhnya yang tak tembus pandang menjadikan Sabri tetap memiliki rasa tanggung jawab untuk mandiri sebagai anak, walau dengan keterbatasannya sebagai anak berkebutuhan khusus.

Dari kisah di atas apa yang kamu dapatkan? Terlihat sederhana? Atau kamu merasakan dimensi lain, seakan kamu sedang berada di posisi Ayah? Ibu? Mutinah? Atau bahkan di posisi Sabri?

Kesabaran juga bisa menghadiahkan kebahagiaan untuk kehidupan kita. Kesabaran bukan hanya tentang menunggu dan pasrah, itu tentang kesadaran akan banyak pertimbangan dalam menjalani kehidupan dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa.

Manusia lahir di dunia untuk beribadah bukan untuk mengeluh. Lantas, akankah kamu terus mengeluh tanpa aksi yang seharusnya kamu lakukan sebagai manusia yang terlahir karena kuasa-Nya?

Hidup perlu kesadaran dan pergerakan bukan hanya keluhan. Maka, jadikan kisah Sabri sebagai pelajaran untuk lebih sabar dalam menjalankan prosesmu yang sekarang, nanti, bahkan di masa depan yang akan datang.

Posting Komentar

4 Komentar