Subscribe Us

header ads

Cerita Untuk Surga

 



Goresan tinta: Haekal Candra

“Kenyang banget malam nih, makan bakso dua mangkok plus es teh manisnya nggak ada obat, kayak udah lihat senyuman doi,” ujar Firman, sambil memegang perutnya yang membengkak sehabis makan.

“Iya-iya, man, si paling punya doi, mentang-mentang makan gratisan, mesannya langsung dua mangkok, bilang makasih dulu sama Tara sana.”

“Udah kok, tanya aja sama Tara, malahan ana orang pertama yang ngucapin dia ultah, jadi ana dua mangkok lah…,” tawa Firman dengan segala alasannya.

Malam itu kami bertujuh berkumpul di Darassah – wilayah sekitar kampus Al-Azhar. Tentu jika sudah kumpul, pasti harus lengkap, mulai dari Fiman yang si paling sibuk dengan kameranya, ada Tara dan Ila yang sibuk dengan mendalami kajian fiqihnya, ada juga Indah yang terus memperbanyak hafalan ayat demi ayat dari Al-Qur’an. Nih yang paling sibuk juga, Namanya Fina yang suka travelling, saking sukanya travelling, seluruh daerah Kairo pasti sudah dia jejaki. Tak lupa juga Renza yang kalem dan selalu stay cool di mana saja, si paling fokus dengan game, kalo udah masalah game, dia jagonya.

 Bulan ini bulan bahagianya Tara, karna tepat seminggu yang lalu, ia berulang tahun yang ke 20. Sebagai mahasiswa yang jauh dari keluarga dan kerabat karib dengan jarak yang tak terbendung, kami hanya bisa merayakan hari-hari spesial kami bersama teman-teman seperjuangan di Kairo. Walaupun rasanya berbeda, tapi setidaknya ada perayaan sebagai tanda syukur kami terhadap nikmat dan kasih sayang yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Ada berbagai macam cara kami merayakannya, Indah pernah masak untuk kami karena tasyakuran hafalan Qur’an-nya, Aku juga pernah menraktir buat makan di masakan padang setelah selesai ujian, Firman juga pernah membawa kami makan besar di Rumah Makan Malay, setelah dia dapat job yang besar. Yang paling terakhir Renza, membawa makan banyak ke taman Al-Azhar.  

Langit malam Kairo sudah cukup gelap, seperti biasanya, susah sekali melihat bintang-bintang di awan sana, sejujurnya hampir setahun ini, kami rindu bagaimana bentuk bintang yang bertebaran seperti layaknya langit di Indonesia. Jam telah menunjukkan pukul 22.00 waktu Kairo, angin malam juga sudah berterbangan sehingga menggerakkan daun-daun di dahan pohon, artinya pertukaran cerita dan curhatan sehari-hari kami telah usai. Ada cerita sedih, cerita bahagia, cerita pekerjaan, bahkan ada cerita tanpa kehidupan (no life bahasa mahasiswanya).

            Karena malam itu kami berkumpul di Darassah, artinya Fina pulang duluan meninggalkan kami sebab ia bertempat tinggal di Gamalia (wilayah seberang Darrasah), tak seperti kami yang harus berpetualang dulu 15 menit bahkan lebih untuk kembali ke rumah. Seperti biasa, tramco alias angkot putih adalah sahabat pulang pergi perjalanan kami sebagai mahasiswa di Kairo.

            “Tahu nggak, Sal, aku kangen mamak di rumah, pingin kali makan ketoprak rumah, Sal. Apalagi akhir-akhir ini banyak masalah, yang tugas kuliah lah, job yang numpuk lah, kerjaan organisasi lah, sampai makan pun nggak menentu,” kata Firman.

            “Man, Firman, belum genap setahun, udah mau pulang saja, Fir’aun aja berabad-berabad di Mesir, masa’ ente kalah sama Fir’aun,” sela Renza.

            “Serius, Za, kangen banget ane sama mamak, kenapa ya?“

            “Ya, kalau kangen ya ditelpon toh, Man, bukan cuma curhat terus tiba-tiba pulang ke Indo. Yang ada mamakmu ngusir buat balik ke Mesir. Sama satu lagi kawan, jangan banyak mengeluh, yang tinggal di Mesir bukan cuma dirimu, ada 17.000 lebih mahasiswa perantauan Indonesia yang punya 1001 masalah, tapi nggak ada kabar-kabarnya stress terus bunuh diri, nggak ada, Man. Yang penting just do it brother.”

            “Ya juga ya…, Sal, ente kok diam aja sih, senyum-senyum nggak jelas.”

            “Biasa, lagi mengkhayal untuk nyari topik tulisan pasti,” ujar Renza.

            “Nggak guys…, yok naik tramco, dah mau berangkat tuh.”

Aku agak terdiam sebentar, karena bayangan mama seketika  hadir di depanku, terbayang saja selalu bagaimana mama tersenyum di depanku, apalagi jika Mama bahagia sekali ketika anak-anaknya sudah berkumpul semua. Maklum, karena aku dan adik-adikku menempuh pendidikan di luar daerah, beda lagi dengan tahun ini, sudah hampir genap setahun aku belum pulang kerumah.

Kami pun pulang menuju Hayy ‘Asyir, tapi akan berhenti terlebih dahulu di Hayy Sabi’, tempat tinggal Ila dan Firman. Tinggal di Mesir tidak memakai nama kecamatan ataupun kelurahan, tapi lebih seperti distrik, ada distrik 6, 7, 8, 9, dan 10 ( jika diartikan dalam Indonesia), tapi biasanya, mahasiswa yang datang dari Indonesia akan tinggal di distrik 7, 8, 9, dan 10 dan pusatnya ada di Darrasah tempat Fina tingggal.

 Aku memilih duduk di paling belakang bersama Renza, kali ini aku duduk di tengah sementara Renza memilih duduk di samping jendela tramco. Duduk di samping jendela tramco adalah hal  yang cukup menyenangkan bagi kami sebagai mahasiswa, bukan hanya karena merasakan berhembusnya angin yang bercampur dengan hawa-hawa gurun pasir, melainkan sebagai wadah untuk membuka cakrawala pikiranku, dengan earphone hitamku yang selalu berada di telinga kiri, sambil melihat di luar jendela bagaimana gerak-gerik Kota Kairo yang sangat berbeda dengan rumahku, jujur aku rindu rumah.

            Hampir 10 menit kami menunggu penumpang untuk memenuhi tramco, Hp-ku menunjukkan baterainya tinggal tersisa 15 persen, pertanda sebentar lagi sudah akan mati. Tramco akhirnya penuh, mesin akhirnya hidup dan siap untuk berjalan menuju rumah, kasurku saat ini serasa sudah memanggilku, tak sabar rasanya sudah ingin meluruskan badan ini di atas kasur yang tak terlalu tebal, tapi nikmat sekali rasanya, dengan bantal dan guling yang selalu kupeluk setiap sebelum tidur.

            Belum jauh perjalanan, tiba-tiba seorang laki-laki dewasa disampingku bertanya kepadaku, “Asyir?” Kujawab  “Iya ustadz”. Setelah menjawab, aku pun spontan melihat laki-laki dewasa tersebut, dengan peci putihnya, dan kaca mata yang beliau pakai, serta baju Persib Bandung membuatku yakin, bahwa beliau adalah orang Bandung yang masih fanatik dengan tim Maung Bandung itu.            

            Ternyata pandanganku yang spontan tadi, membuat ustadz tersebut sadar, dia hanya menjawab dengan senyuman kecil, jenggotnya yang sedikit lebat, serta paras muka nya yang tak asing, membuatku langsung mengingat seorang ulama’ besar di Indonesia, seolah-olah hatiku berbicara “Beliau mirip seperti ustadz Adi Hidayat yang sering kutonton di Youtube.”

             Tak lama setelah itu, suara laki-laki dewasa tadi terdengar kembali di telingaku, agak samar-samar, tapi seperti sebuah pertanyaan terlontar kepadaku “Maba, ya?“. Ternyata benar, ustadz itu bertanya kepadaku, tanpa harus berfikir aku menjawab, “ Iya ustadz, baru mau masuk setahun di Kairo.” Jawabku dengan yakin. Tak sampai di situ, lisanku mulai bertanya kepada pria tadi, “Antum sudah berapa tahun, Ustadz, di Mesir?”

Senyum pria yang kupanggil dalam hati Ustadz Adi Hidayat kairo tadi kembali semerbak, senyum kecil di atas jenggotnya yang tebal tapi tak panjang seperti sebagai awal dari jawaban untuk  beliau menjawab, “Alhamdulillah, saya sudah 9 tahun di Mesir,” jelas beliau.

            “MasyaAllah ustadz, antum luar biasa, Tadz, kuat antum ya, Tadz. Berarti sekarang ngambil S2, Ustadz…?” Kagumku.

            “Alhamdulillah iya, akhi, sekarang sedang S2 kebetulan di Syari’ah….”

            “Wihhhh…. Sama dong, Ustadz, antum orang bandung ya, Ustadz?” Renza menyelak pembicaraan kami.

            “Waduh, gara-gara baju Persib ya, bukan akhi. Saya orang Nusa Tenggara. Lahir di sana dan kecil ya di sana juga, baju ini merupakan baju pemberian yang saya jaga terus.”

Tatapanku masih sama terhadap pria yang kira-kira bisa kutebak hampir memasuki kepala tiga ini, setiap aku melihat orang yang sudah lama di Mesir, pertanyaanku singkat saja, bagaiama beliau bisa bertahan selama ini di Mesir…? . “Selama 9 tahun, sudah pernah kembali ke Indonesia, Ustadz?” Tanyaku.

            “Kalau pulang, hanya sekali, itu pun Ketika saya sudah tahun kelima, sampai sekarang sudah tidak pulang lagi, saya sekarang sedang menunggu visa untuk ke Iran, ingin bertemu dengan Ibu saya, mau memberikan surat kepada beliau.”

            “Wah, Ibu antum orang Iran ustadz?” tanyaku.

            “Ibu saya sudah mendahului saya, Ibu saya sudah di surga Insya Allah.”

            “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un, maaf, Ustadz…,” ucapku.

Semua diam, hening, tak ada suara, seperti aliran listrik yang tiba-tiba terputus. Aku terkejut ketika beliau bilang mau ke Iran bertemu ibunya. Bayangan mama datang secara tiba-tiba ke dalam pikiranku. Ya, jelas sekali mama seperti di hadapanku.

            “Ibu saya wafat Ketika menjadi TKW di Iran, dan sampai saat ini saya belum mengetahui di mana makamnya, saya belum tau tempat peristirahatan terakhirnya. Maka ya, saya menunggu visa saya,” jelas ustadz tadi, dengan senyuman khasnya.

Renza lembali menyelak perbincangan kami, “Tapi antum sudah menikah, Ustadz?”

Aku menyenggol Renza sambil menatapnya, serasa dia tidak pantas untuk menanyakan hal itu lebih dalam lagi.

            “Hmmm, saya sudah menikah, tapi saya ditinggal,” jawab ustadz tersebut dengan senyum yang agak lebar, tapi seketika mata beliau berubah begitu saja, raut wajah dan sedikit kerutan kening sedang ingin  menggambarkan dan mengekspresikan sesuatu yang dalam.

            “Saya ditinggal oleh istri saya dua tahun lalu, istri saya melanggar janjinya karena ia bertemu dengan sang pencipta duluan, tanpa menunggu saya, Covid 19 di Mesir merupakan saksi bisu kami di Kairo…”

“Hmmm, maaf ya, ustadz, ana minta maaf sekali lagi, udah….”

“Tidak apa, Akhi, jalan dan takdir yang diberi oleh Allah adalah yang terbaik, saya hanya berharap untuk bisa bertemu mereka di Surga nanti, saya hanya ingin berkumpul bersama mereka nanti, sambil menceritakan banyak hal di hadapan dua wanita tersebut.”

 

Jembatan panjang sudah terlihat jelas, pertanda rumah kami sudah dekat. Renza dengan sigapnya mengatakan: akhir kubri lau samah yasto, mantra ajaib untuk memberhentikan angkot, tramco berhenti di samping akhir jembatan pas. Kami berlima pun turun dari tramco karena sudah sampai di tujuan. Sebelum aku menginjakkan kakiku keluar tramco, tak lupa aku berpamitan dengan ustadz tersebut. Beliau mengucapkan kalimat “Hati-hati” kepada kami”, dan kubalas “Terima kasih, Ustadz.”

Percakapan sederhana tadi masih kurekam satu-satu, sementara bulan purnama sudah semakin terang karena lamgit malam sudah semakin gelap. Kami berenam berencana untuk membeli jus, agar bisa menyelesaikan permasalahan dahaga ini. Baru berapa langkah, aku memutuskan untuk tidak ikut mereka, bukan hanya lelah, tapi seakan-akan dahagaku sudah mengatakan tidak merasakan haus lagi. Aku masih terbayang bagaimana kuatnya ustadz tadi dalam menjalankan hari-harinya.

Di sembari perjalanan menuju rumah, satu hal yang aku sesali, kenapa tidak kutanya nama  beliau? Siapa nama beliau? Tinggal di mana? Aku belum bertanya siapa nama beliau, bahkan untuk memanggilnya kembali, aku tak tahu. Yang kuingat hanya seorang laki-laki dewasa yang punya berat badan sekitar 65 kg, tinggi 165 cm tak lebih pasti, dengan kopiah putih dan kaca mata yang dipakainya, ditambah lagi dengan senyuman kecil di atas lebatnya bulu jenggotnya, mirip seperti seorang Ustadz Adi Hidayat gelar hatiku. Malam ini aku bertemu dengan seorang yang lebih hebat daripada seorang mahasiswa yang berprestasi, yang lebih kuat daripada banyaknya ujian yang kami hadapi, dan lebih sabar daripada sabarnya perantauan yang jauh dari kampung halamanya.

Ternyata apa yang dikatakan Renza tadi bukan hanya sebagai nasehat belaka, melainkan merupakan pelajaran yang sangat dalam, ustadz yang mirip seperti Ustadz Adi Hidayat tadi adalah bukti nyata yang saat ini masih kuat dalam menghadapi kehidupan yang fana ini. Kesabaran dan keikhlasan beliau membuatku seribu kali berfikir untuk menyerah dengan cerita ini. Takdir dan jalan yang diberikan oleh Allah kepada hambanya adalah pilihan terbaik yang harus kita syukuri, bukan kita kufuri. Jauh dari orang tua dan kerabat bukan menjadi alasan untuk kita putus semangat dan tak mempunyai ambisi meraih mimpi, melainkan menjadi acuan untuk menentukan langkah kita sendiri, mau kemana kaki ini menapak dan tangan ini diangkat sambil menunjukkan bahwa kita bisa meraih mimpi yang kita cita-citakan.   

Sepatu kuletakkan di rak sepatu setelah sampai dirumah. Teman-teman di rumah Sebagian ada yang masih mempunyai kesibukan hingga memlih tidak pulang ke rumah karena malam sudah begitu larut panjang, sementara sebagian lagi masih ada yang memiringkan HP-nya untuk menghibur diri mereka masing-masing. Aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, kubentangkan sajadah coklat, yang selalu menemaniku dalam sujud dan doa.

Kasur sudah menugguku di dalam kamar, segera dengan cepat kurebahkan badanku untuk menulis penutupan kisah hari ini, masih terbayang wajah Ustadz Adi Hidayat tadi, seketika hatiku berkata, “kutunggu, Ustadz, kisahmu nanti….”

           

Posting Komentar

0 Komentar