Subscribe Us

header ads

Tulus

Sumber foto : monabay.co.id

Sudah tujuh hari nelayan-nelayan absen mengarungi laut. Pada malam hari, awan menghujat bumi sejadi-jadinya hingga hujan lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat.

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Andi. Tak ada yang menikah, tak ada yang ulang tahun, dan Pak Andi juga bukan orang kaya. Beliau hanyalah nelayan biasa, seperti para tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Andi menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Kini tibalah hari kedelapan. Pagi-pagi Ibu Andi memberi laporan, "Pak, uang kita tinggal tiga puluh satu ribu rupiah. Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!"

Mata pak Andi menerawang, termenung memikirkan jalan terbaik yang bisa ia tempuh tuk melewati badai yang tampak tak berkesudahan ini. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, "Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan."

Ibu Andi pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia tak pernah menanyakan kembali jika suaminya sudah menampakkan wajah serius penuh keyakinan. Selama ini Pak Andi sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Andi masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Andi. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Andi lalu mengucapkan terima kasih.

"Pak Andi, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?" seorang gadis kecil yang menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.

Ibu Andi tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya yang besar dan berat Pak Andi berkata, "Tidak Mila, besok kamu makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing."

Mila dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Andi. Pak Andi nelayan berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan panen ikan.

Kira-kira jam lima petang Pak Andi ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Andi dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Andi teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Andi. Semua anak makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Andi memanjatkan doa syukur.


Red : Adya


Posting Komentar

0 Komentar