Subscribe Us

header ads

Berperang dengan Pena

Berperang dengan Pena

Oleh: Wi Farma

Dalam waktu 29 tahun Nabi Muhammad Saw menjabat sebagai pemimpin sekaligus panglima perang bagi kaum muslimin. Hal ini menunjukan bahwa Islam tidak pernah lepas dari peperangan dan dakwah. Dalam kurun tersebut terjadi 27 Ghazwah (Peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw) dan 47 Sariyyah (Peperangan yang tidak diikuti oleh Rasulullah Saw tetapi dengan mengutus sahabatnya). 

“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kalian...” (Q.S. Al-Baqarah [2] :216) 

Berperang adalah kewajiban atas muslim, begitulah ayat yang turun ketika Perang Badar.

Mengapa perang tidak menyenangkan?

Mengapa perang dibenci?

Karena harus melibatkan jiwa dan harta. Keadaan pasca perang akan selalu penuh darah, luka, sakit, cacat bahkan kematian. Korban jiwa di mana-mana. Kejamnya peperangan membuat sebagian orang membenci jihad dengan berperang.

Zaman telah berubah, dunia sekarang terlihat damai tanpa peperangan, tidak ada tawan-menawan, munculnya paham HAM (Hak Asasi Manusia) seakan manusia sedang merdeka dan bebas. Tapi sebenarnya sekarang sedang terjadi peperangan, berperang melawan pemikiran (ghazwu al-fikri).

Sekarang memang tidak terlihat sedang terjadi berperang, tetapi keadaan sekarang penuh dengan darah kebencian, luka hati, sakit moral, cacat ideologi, dan pemahaman tentang agama bahkan kematian jiwa seorang muslim. Korban-korban tetap hidup, tetapi imannya mati di jalanan, di pasar-pasar, di kampus, di stasiun, bahkan di masjid.

Umat Islam mengalami kekalahan dalam perang pemikiran. Terjadi kerawanan moral dan etika dengan munculnya teknologi dan tempat hiburan di segala penjuru. Di lain sisi terjadi ledakan informasi di berbagai bidang kehidupan dan tergesernya ruang untuk menyampaikan (tabligh) agama Islam.

Banyaknya dominasi dan monopoli oleh pihak yang mementingkan individual sehingga menggeser atau menghalangi jalannya dakwah Islam, atau bahkan mereka benci Islam dan berniat  menyerangnya. 

Islam harus menyerang jika sedang diserang. Bak orator para pahlawan, “Kita harus melawan! Merdeka atau mati!” Begitulah Islam, agama yang damai tapi terhormat, yang memilih kemerdekaan tanpa senjata, tapi tidak akan kabur kalau musuh menyerang dan hanya akan berperang jika diperangi.

Islam adalah agama perdamaian, bagaikan negara ekspansi tanpa darah, yang mewajibkan umatnya untuk menyebarluaskan ajarannya ke seluruh dunia dengan kasih sayang. Salah satu keistimewaan umat Rasulullah Saw adalah diwajibkannya menyebarkan dan mengajarkan agamanya kepada seluruh umat manusia. Bahkan Islam diberi gelar umat terbaik karena diberi amanat untuk berdakwah mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran.

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”  (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Untuk melawan perang pemikiran harus dibalas dengan pemikiran sesuai dengan pernyataan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Jika ingin membunuh rumput gajah, jangan kau menebasnya. Tapi tanamilah rumput jepang. Begitu juga dengan pemikiran dengan pemikiran.”

“Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qisas. Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 194)

Perang pemikiran banyak modelnya, tapi media terbaik di zaman modern adalah dengan video, musik, film, dan tulisan di media massa. Musik sebelumnya berupa lirik lagu yang ditulis, film sebelum diputar berupa naskah. Ada penulis naskah dan sutradara yang membawa jalan cerita. Begitulah pemikiran mulai muncul dengan penulisan lirik dan naskah.

Kepenulisan sangat diperlukan dalam penyebaran pemikiran. Ada beberapa sebab mengapa penyebaran pemikiran lebih mudah disampaikan dengan tulisan dibandingkan dengan cara lisan. Karena tulisan adalah media yang ideal dalam merekam materi dan pemikiran secara lebih baik, lazimnya dengan lengkap dan detail.

Sedangkan media lisan, walaupun punya keunggulan seperti merasakan interaksi langsung tapi terkadang pendengar tidak mendapatkan secara utuh materi yang disampaikan. Dakwah lisan dan interaksi langsung juga terkadang mengalami kerancuan jalannya materi. Tetapi semua itu tergantung penyampaian pendakwah dan respon pendengar.

Perlu diketahui ulama dahulu terkenal karena tulisan, kepandaian ilmunya dan pemikirannya. Terus dikenang abadi seluruh umat dengan kitab-kitabnya. Hingga tersebar luas dan dapat digunakan umat manusia. Realita yang terjadi sekarang di Indonesia, ulama terkenal bukan karena karya tulisnya melainkan dengan sering mengisi pengajian dan majelis taklim yang dipopulerkan oleh media massa.  

Ulama harus pintar menulis.  Menulis adalah peperangan pemikiran. Tidak perlu kaku dalam menulis dengan nuansa ilmiah dalam penyampaiannya. Banyak penulis terkenal menyampaikan dakwah dengan sarat sastra. Sayyid Quthb menuliskan tafsir Al-Qur`an dengan nuansa yang sarat penuh sastra dan keindahan bahasa di dalamnya. Ehma Ainun Najib, dapat menulis pemikirannya dalam sastra dan puisinya kemudian dinyanyikan dengan gamelan. Penulis terkenal Habiburrahman el-Shirazy dapat memberikan nuansa Islam dalam novel-novelnya.

Dunia sekarang sedang krisis prajurit perang pemikiran. Berperanglah sesuai aturan yang ditentukan oleh Allah Swt. Berdakwah jangan sampai membesarkan masalah khilafiah (perbedaan) dan sesuatu yang menyebabkan perpepecahan antarumat Islam. Jangan sampai mengotak-ngotakan golongan dan menjelekkan golongan yang lain, bahkan menuduh kafir sesama muslim. Ingat metode dakwah yang diajarkan Allah dalam surat al-Nahl.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Nahl [15]: 125)

Sesuai awal dari tulisan ini berperang adalah kewajiban bagi umat Islam. Sekarang bukanlah waktunya berperang dengan pedang. Berperanglah dengan pena, dengan keikhlasan, ilmu yang mencukupi, dan ketakwaan kepada Allah. Torehkan tinta darah dengan niat perdamaian dunia! Sebarkan surat-surat cinta kepada seluruh penjuru dunia!  

Sekarang bukan waktunya melamun, mager, gabut, scrolling smartphone dan main-main gak jelas. Bangunlah, berjuanglah di dalam medan peperangan pena. Tulislah ilmu, kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian! Bagaimanapun Islam akan terus maju dan berkembang. Masalahnya siapakah yang akan memajukan dan mengembangkannya?


Sumber: Majalah Cakrawala Edisi Spesial "Kerucut Literasi", 2019

Sumber gambar: pen is mightier than sword / VJP / Adobe Stock

Posting Komentar

0 Komentar