Subscribe Us

header ads

Terimakasih Hari Ini Untuk Esok Hari


“Jika kalian sudah lelah dan tidak sanggup melanjutkan pendidikan pulanglah, dari pada menambah beban dan mengurangi jatah beras saja, " ulas Ustadz Haqiqul Rezkiyanta.

Duduk dan bercengkrama bersama beliau-seorang mahasiswa Turki yang juga salah satu alumni PMDG- kembali mengingatkan kita sebagian dari filsafat-filsafat yang kerap kali disampaikan oleh Kyai Hasan semasa di pondok dulu yang kemudian secara tidak langsung terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. "... rugi jika sudah nyantri tapi tidak bisa mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Kyai," tambahnya. 

Malam yang tadinya hening dan dingin menjadi hangat dengan suguhan nostalgia yang terus berkelanjutan hingga larut. Beliau melempar sebuah pertanyaan, “Mengapa kamar di pondok dulu tidak dibuat sekamar atau bahkan seasrama diisi dari anggota yang sedaerah, sekelompok, ataupun yang memiliki latar belakang sama?"

Kami terdiam mendengarkan setiap tutur kata beliau. Tidak lain dan tidak bukan, diantaranya bermaksud untuk mengajarkan kepada kita semua mengenai toleransi serta memahami perbedaan karakteristik, sehingga kita mampu berkembang dan besosialisasi dengan baik. 

"Lalu mengapa replika yang kecil itu tidak kita terapkan di kehidupan kita sekarang?" sambungnya kembali bertanya. Setiap kata dari kisahnya berhasil menyihir akal masing-masing. Mencoba meresapi kembali pesan dan nasehat pak Kyai selama di pondok dulu. 

'Ke Gontor Apa yang Kau Cari?' merupakan sebuah mantra dan kalimat yang iconic, seluruh santri seringkali mendengar kalimat itu didengungkan atau bahkan melihat kalimat itu disematkan. Mengapa tidak kita coba gunakan kalimat itu disini 'Ke Mesir Apa yang Kau Cari?' Kalau hanya pindah tempat tidur saja atau pindah tempat main game saja, lantas apa yang membedakan kualitas kita dengan orang yang berkuliah di Indonesia. 

"Bisa kuliah di luar negeri merupakan suatu kenikmatan, akankah kita kufur dengan itu? Atau malah lebih bersyukur dengan mencari ilmu sebanyak dan seluas-luasnya?" lagi-lagi, berbincang dengan kakak kelas sering kali menambah ilmu dan nasehat baru darinya. 

Falsafah yang ketiga yang kembali beliau ingatkan adalah "'Jadilah Ulama Yang Intelek Tapi Bukan Intelek Yang Ulama', mungkin hal ini yang membuat saya tertantang untuk mengambil jurusan sains yakni teknik industri tapi bukan berarti saya lepas dengan ilmu agama akan tetapi mendalami dan menggabungkan antara keduanya. Ketika seorang mahasiswa agama atau sosial hukum kembali ke negara asal maka mereka dituntut untuk menjawab pertanyaan langsung yang dilontarkan oleh masyarakat. Namun lain halnya dengan mahasiswa/i sains mereka dituntut untuk menjawabnya dengan cara menghasilkan wujud nyatanya."

Di akhir tegukan kopi hangatnya, "Beliau selalu berpesan bahwa kita akan selamanya menjadi santri maka tetap jaga nilai kesantrian itu dipakai lagi dhomir nya (hati nuraninya) karena sejatinya, langkah-langkah kita hari ini dan esok bukan lain untuk berterimakasih pada tempat di mana memulai perjalanan."


Oleh : Petik.Biru

Posting Komentar

0 Komentar