Subscribe Us

header ads

Sendang Biru Sang Pujangga Cinta

 


                                          


  Syair bisa dikatakan sebagai sebuah sarana untuk menyalurkan apa yang tersimpan di dalam hati juga pikiran. Begitupula yang dilakukan oleh Rabiatul Adawiyah. Seorang perempuan kelahiran kota Basrah, Irak kisaran tahun 713-717 M. Perempuan yang tersohor sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya kepada Yang Maha Indah. Dengan kezuhudan yang dimilikinya mengantarkannya menjadi seorang sufisme bermadzhab cinta.

  Sejak kecil, jalan hidupnya dipenuhi dengan kerikil-kerikil ujian. Bahkan mulai dari kelahirannya. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Rabiatul Adawiyah terlahir dari sebuah keluarga yang miskin. Pada hari kelahirannya sang ayah sempat bersedih lantaran ia lahir dalam keadaan ekonomi keluarga yang sangat buruk. Hingga suatu hari ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan mengabarkan kepadanya untuk tidak bersedih karena anaknya akan menjadi seorang perempuan yang mulia serta dicari syafaatnya oleh orang banyak.

  Ujian yang lain datang ketika usianya belum mencapai remaja. Ayahnya meninggal, kemudian disusul oleh ibunya. Setelah kepergian orang tuanya ia bekerja sebagai penarik perahu guna mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan ketiga saudara perempuannya bekerja di rumah sebagai pemintal benang ataupun seorang penenun kain.

  Belum berhenti disini, ujian yang lain datang kembali bersamaan dengan kota Basrah yang dilanda kekeringan akibat kemarau panjang. Akhirnya ia dan ketiga saudarinya memutuskan untuk berkelana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sampai suatu saat ia terpisah dari ketiga saudarinya. Pada saat inilah ia diculik oleh sekelompok penyamun dan dijual sebagai hamba sahaya. Sebagai seorang hamba sahaya ia bekerja sangat keras setiap harinya. Sampai suatu saat ia berdo’a apabila ia bebas dari perbudakan maka ia tidak akan berhenti beribadah kepada Allah. Hingga suatu waktu, ia sedang berdo’a ketika shalat malam, majikannya melihat cahaya yang tak biasa menerangi hampir seluruh rumah. Melihat cahaya yang tidak biasa itu sang majikan ketakutan dan membebaskannya pada keesokan hari.

  Sesuai janjinya, jika ia dibebaskan maka ia akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sejak ia menjadi hamba sahaya ia sudah mengembangkan aliran sufinya yang berlandaskan rasa cinta kepada Allah dan beribadah tanpa pamrih, bukan pula karena rasa takut akan neraka, atau harapan ingin mendapatkan surga. Oleh karena itu ia terkenal dengan madzhab cintanya. Kecintaannya tergambarkan pada syairnya yang berbunyi,

“Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali.”

  Cintanya kepada Allah tidak diragukan lagi, bahkan terlampau rindunya ia sampai menuliskan sebuah syair manis yang berbunyi, Apakah dengan api aku harus membakar hati ini yang mencintai-Mu?”. Ini jugalah yang menjadi alasannya mengambil keputusan tidak menikah, karena ia takut tidak bisa membagi waktunya untuk suami dan anaknya apabila ia menikah. 

  Rabiatul Adawiyah, adalah seorang sufi yang terkenal dengan kesedihan dan tangisnya akan kekurangan dirinya dihadapan Allah. Bahkan beliau dapat dikategorikan dalam tingkat yang super istimewa karena diantara manusia yang beristighfar karena dosanya, ia beristighfar karena merasa ibadahnya belum sempurna. Salah satu tanda kezuhudan yang lain adalah penolakannya untuk meminta bantuan kepada orang lain. Ketika ditanya alasannya kenapa, ia menjawab demikian,

“ Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang). ”

  Rabiatul Adawiyah wafat pada usianya yang ke-83 pada tahun 801 M, bukti zuhudnya pun dapat kita temukan sampai akhir hayatnya. Yakni, ia sudah mempersiapkan kain kafannya sendiri untuk memastikan bahwa kain kafan yang dipakai berasal dari harta yang halal.

  Ajaran sufisme seorang Rabiatul Adawiyah memiliki pengaruh besar  kepada sufi-sufi selanjutnya. Seperti Al-Ghazali dan Jalaluddin Ar-Rumi. Berikut dengan syair-syair cintanya kepada Allah. Dan tidak sedikit pula ulama yang menaruh hormat padanya seperti, Sufyan At-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi.

Oleh : Atina Husna


Posting Komentar

0 Komentar