Subscribe Us

header ads

Tradisi Keilmuan Islam dan Azhar; Wawancara bersama Al-Ustadz Arief Assofi, Lc


Sejarah keilmuan terus mencatat siklus pergantian dan estafet tombak keilmuan Islam yang terus direinkarnasi dan diwariskan kepada para ulama waratsatu-l- anbiyya (pewaris nabi). Metode keilmuan yang telah beranjak selama berabad-abad lamanya, tak pernah pupus dimakan zaman. Nabi Muhammad Saw sebagai seorang guru yang paling hebat telah mengajarkan suatu metode keilmuan yang hingga kini masih terus dijaga eksitensinya oleh para penerusnya, para ulama.

Baitu Al-Arqam madrasah pertama umat Nabi Muhammad Saw, telah mencatat hasil dari metode keilmuan yang telah diterapkan oleh baginda Rasulullah Saw, mencetak kader-kader pewaris keilmuan yang telah mengestafetkan keilmuan itu hingga saat ini. 

Masa pun terus berlalu, tokoh sejarah pun berganti setiap masanya.

“Setiap masa ada tokohnya, setiap tokoh memiliki permasalahannya”. 

Al-Azhar yang telah menjadi pusat keilmuan, terus berusaha untuk menjaga eksistensi keilmuan ini, telah banyak tinta emas mencatat ulama-ulama silih berganti mewariskan nilai keislaman. Lantas pondasi apakah yang telah dibangun oleh generasi penerus untuk menyongsong estafet keilmuan ini? 

Apakah metode pembelajaran ini adalah metode yang telah diwarsikan turun temurun hingga saat ini? 

Lantas telah benarkah tradisi keilmuan yang ditempuh oleh seorang penuntut ilmu ini? 

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kru Majalah Cakrawala menjumpai salah seorang Ustadz yang masih menuntut ilmu di Daru Al- Ifta’, Al-Ustadz Muhammad Arief Assofi, Lc, beliau adalah salah satu alumni Al-Azhar yang telah menamatkan program sarjananya pada tahun 2015, kini beliau sedang menempuh pendidikan di universitas yang sama dalam program pascasarjana. Kami menjumpai beliau tepatnya di kediamannya di Darrosah. Dalam wawancara kali ini kami berharap, agar mendapatkan jawaban yang otoritatif dan otentik untuk memahamkan nilai-nilai Islam dan menjadikannya sebagai rujukan umat muslim.  


Apa metode yang dipakai ulama-ulama terdahulu dalam menuntut ilmu?


Sistem pembelajaran di Al-Azhar zaman sekarang ada 2; talaqi dan kuliah. Sistem kuliah berbeda dengan sistem pembelajaran terdahulu. Adapun sistem talaqi sistemnya sama dengan sistem pembelajaran terdahulu, mungkin yang berbeda bukan metodenya tetapi kitab yang kita pelajari, seperti buku Minhajut Thalibin. Pada masa Imam Nawawi buku itu dibuat untuk para pedagang yang sering berbicara masalah fikih dengan tidak bisa membedakan mana yang mu’tamad dan mana yang tidak mu’tamad. Akhirnya Imam Nawawi menulis buku dengan judul Minhajut Thalibin untuk para pedagang dan sekarang menjadi kitab tertinggi yang dipelajari di Madzhab Syafi’i. 

Sekarang kita semakin manjauh dari masa keemasan Bahasa Arab. Sehingga kemampuan kita dalam memahami juga semakin melemah. Adapun sistem yang digunakan sama tetapi wasaailu al-idhah (alat penjelas) yang digunakan berbeda. Seperti papan tulis, proyektor.


Ketika kita sudah mengetahui sebuah metode pembelajaran, pondasi seperti apa yang harus dibangun oleh seorang penuntut ilmu (murid)?


Seorang penuntut ilmu tidak bisa membangun pondasi sendiri. Menanam itu butuh biji, air dan sebagainya. Tugas penuntut ilmu ketika ingin menjadi pondasi harus menjadi pot kosong ataupun tanah kosong. Sehingga sang gurulah yang akan membangun pondasi tersebut, murid hanya mengikuti apa yang dianjurkan oleh guru. Itu semua sistem pembangunan pondasi. Penuntut ilmu tidak tahu bagaimana pondasi itu harus dibangun, yang mengetahui adalah guru. Karena, dia telah merasakan bagaimana pondasi itu dibangun. Sehingga dia tahu bagaimana cara membangun.

Setelah menjadi pot kosong dalam membangun sebuah pondasi, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu :

  1. Mempelajari furudhu-l-‘ ain, ibadah, amradhu-l-qulub (penyakit hati)
  2. Mempelajari Bahasa Arab, pondasi pertama yang harus dibangun khususnya agama adalah Bahasa Arab, karena itu adalah dasar pemahaman dan semua permasalahan akan kembali ke qai’dah (kaidah) Bahasa Arab
  3. Memulai hafalan-hafalan seperti : hafalan AL-Qur’an, hafalan hadits dan matan
  4. Membaca syarh lain yang berkaitan dengan pelajaran yang telah disampaikan oleh guru selepas pelajaran
  5. Membiasakan tahdhir (persiapan) sebelum masuk majlis ilmu
  6. Menanyakan apa yang tidak dipahami walaupun hanya 1 huruf.


Faktor terpenting dalam pembangunan sebuah pondasi adalah seorang guru, seperti apa guru yang perlu kita mulazamahi (khidmati)?


Guru yang perlu kita mulazamahi adalah guru yang murrabi (mendidik), yang tidak sekedar mengajar terus pergi. Tapi, guru yang melihat keadaan murid, memperhatikan murid, memberi nasehat, menuntun murid. Guru itu mempunyai proyek untuk membentuk muridnya menjadi ‘alim (orang berilmu).

Karena ulama ada 3 macam: 1) Ulama yang hanya fokus dalam menulis buku, 2) Ulama yang fokus untuk membentuk manusia menjadi alim, dan 3) Ulama yang kedua-duanya; membuat buku dan membuat manusia.


Bagaimana kita mengetahui ulama yang seperti itu?


Saya dulu salah satu penuntut ilmu yang punya ketamakan yang tidak jelas. Saya punya keinginan untuk belajar kitab ini dan itu, padahal kitab itu tingkatannya tinggi, seperti saya dulu mempelajari kitab asbah wa nadzair, padahal kitab itu di atas kitab Minhajut Thalibin.

Setelah 1 tahun berjalan seperti itu, baru saya menemukan guru yang berbeda. Saya menemukan guru yang mengajarkan turuqul isti’mal (bagaimana penggunaan) ilmu, ada tarbiyyah (pendidikan)nya, menyarankan kita menghafal, kemudian dia mempunyai thalabah (murid-murid) yang mulazim (berkidmat). Guru seperti inilah yang harus kita mulazamahi. Dan itu tidak terjadi dengan hanya datang lalu langsung diperhatikan, namun setelah beberapa lama dilihat oleh guru dan tamak dalam ilmu, baru diperhatikan. Harus ada bentuk mencari perhatian. Di sini tidak ada pendaftaran untuk menjadi seorang mulazim, tetapi harus mencari perhatian terhadap masyayikh (guru-guru), nanti setelah itu barulah oleh syekh diambil menjadi mulazim.


Tentang ketamakan dalam menuntut ilmu, terkadang kita salah dalam mengarahkan jalan ketamakan ilmu ini, bagaimanakah ketamakan ilmu itu seharusnya?


Harus dibedakan antara ketamakan/hirshun dan terburu-buru/’ajalatun. Tamak berarti dia semangat untuk istizadah (menambah) dalam menuntut ilmu. Banyak penuntut ilmu yang tergesa-gesa ingin mendapatkan ilmu yang dia inginkan itu, problemnya di mana? Problemnya adalah diketidaktahuannya bagaimana membedakan antara ilmu dan ma’lumat (potongan informasi), atau ilmu dan tsaqafah (pengetahuan), itu hal yang berbeda. Untuk itu, ketika teman-teman ingin mendapatkan banyak ilmu, maka bukan berusaha untuk memperbanyak ilmu itu sendiri akan tetapi berusaha untuk memperbanyak ma’lumat

Syeikh Ali Jumuah membedakan antara ilmu dan ma’lumat. Perbedaan antara keduanya, ma’lumat itu mufradah (potongan-potongan statement/qadhiyyah atau hukum masalah) dan ilmu itu;

  نسك مربط بعضهم ببعض له منهج وله استعمال.

Dan inilah yang membedakan antara ‘alim dan mutsaqaf (cendekiawan).


Tamak itu sangat penting, ada beberapa ketamakan yang bagus, di antaranya:

  1. Tamak untuk mendapatkan ilmu tersebut dengan cara yang benar, sehingga ia menjadi ‘alim bukan menjadi mutsaqaf. Ketika ia memiliki ketamakan, dia akan mengikuti semua petunjuk gurunya di kelas atau di majelis. Mulai dari hafalan yang diberikan, ataupun buku bacaan yang dianjurkan dan menanyakan apa yang kurang difahami kepada guru, ini merupakan bentuk ketamakan.
  2. Salah satu bentuk ketamakan juga tahdir; mencoba membaca buku sebelum guru menerangkan. Ketika ada yang belum dipahami, bisa ditanyakan kepada guru. Dari sini kita bisa mendapat pemahaman guru, jika tidak punya guru dia tidak tahu kemana dia harus membenarkan pemahamannya.
  3. Tamak untuk membangun ilmu dasar, Bahasa Arab, dan pondasi keilmuan yang lain.


Apa perbedaan antara ulama dan mutsaqaf (cendekiawan)?


Seorang mutsaqaf memiliki banyak ma’lumat dalam materi-materi tertentu, misalkan dia memiliki tsaqafah dalam tarikh (sejarah). Tetapi, dia tidak alim dalam maadah (materi) ini, walaupun kadang ma’lumat-nya melebihi seorang alim. Tapi, dia tidak tahu manhaj (metode) ilmu tersebut, bagaimana ilmu itu tercipta, bagaimana ilmu itu tersusun, bagaimana ilmu itu terbentuk, dan bagaimana bermu’amalah (hubungan) dengan ilmu-ilmu tersebut. 

Karena itu, di sini dikatakan, lahu manhaj wa lahu isti’mal (pengamalan), artinya bagaimana kita berinteraksi dengan ma’lumat-ma’lumat ini, apa manhajnya; manhaj dalam membuat sesuatu yang majhul (tidak dipahami) menjadi ma’lum (diketahui), kita juga harus tahu hubungan ma’lumat satu dengan lainnya itu apa, sehingga apa yang ada di kepala seorang ulama itu seperti sebuah pohon, semuanya saling berkesinambungan.

Walaupun ma’lumat yang ia miliki sedikit, tapi dia dibentuk dari asasnya, jadi dia belajar dari pembentukan pondasi. Adapun cendekiawan tidak memiliki pondasi, namun mengambil semua yang ada di atas pondasi. Ilmu bukan hanya ma’lumat. Akan tetapi mencakup ma’lumat, hubungan antara ma’lumat, cara memakai ma’lumat, dan manhaj dalam mengaitkan tiap ma’lumat dengan ma’lumat lainnya.


Apa yang menyebabkan kita tidak ingin bermulazamah dengan guru, dan apa dampak dari tidak berguru?


Ulama membagi cara mengambil ilmu ada 8, salah satunya guru membaca dan murid mendengar (ini yang paling kuat), karena ketika syeikh membaca tingkat kesadarannya lebih tinggi dibandingkan penuntut ilmu. 

Apa fungsinya guru? Yaitu membenarkan ketika ada kesalahan dalam kata, atau perkataan yang dhaif (lemah) riwayatnya, atau hukum yang tidak mu’tamad. Karena jika mencari di buku itu sulit. Guru juga memindahkan al-malakah (kemampuan) kepada penuntut ilmu, tashih (membenarkan) ma’lumat. Gurulah pondasinya, karena dia yang sangat tahu terhadap perkara-perkara ini.

Dari sini si penuntut ilmu tidak tahu bagaimana mencari ilmu, sehingga dia mengira ma’lumat-ma’lumat itu adalah ilmu; ilmu bukanlah ma’lumat. Akhirnya dia beranggapan tidak perlu berguru, lebih baik membaca sendiri saja. Maka tidak ada yang membenarkan bacaannya, sehingga dia akan menjadi mutsaqaf. Bahkan seorang mutsaqaf lebih terlihat mengagumkan di hadapan orang awam, ketika dia memberi muhadharah (ceramah), dari pada banyak ulama. 

Mengapa demikian? Karena seorang cendikiawan memiliki banyak ma’lumat kemudian membuat rabt-rabt (hubungan-hubungan) sendiri, tanpa rabt, yang mana ilmu itu didirikan dari rabt itu sendiri. Mengapa tidak bisa membedakan antara ilmu dan ma’lumat? Karena tidak belajar dengan guru, dia beranggapan ilmu agama cukup dibaca sendiri. 

Coba bayangkan ada seorang yang membaca buku tentang kedokteran, telah banyak buku pelajaran tentang kedokteran yang ia baca, dan satu orang lagi dia membaca tulisan yang ringan tetapi dia belajar dengan cara yang benar; dia mengikuti perkuliahan; dia praktek di hadapan guru. Tapi, apakah Anda berani dioperasi oleh orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang kedokteran tanpa bimbingan seorang guru? Tentunya Tidak. Kenapa? Karena dia hanya belajar dengan buku, lantas siapa yang membimbingnya, yang memindahkan kemampuan kepadanya? Salah satu sebabnya adalah karena dia tidak ingin duduk dengan guru dan mempunyai kepercayaan diri yang mengakibatkannya sombong, mengira mampu untuk mendapatkan apa yang didapatkan temannya dari seorang guru. 

Jika kita belajar dengan bimbingan guru kita akan mendapatkan keuntungan yang banyak. Karena apa yang ingin kita pelajari, guru sudah menguasai semuanya, belum ditambah tadribul malakat (pelatihan kemampuan) dan membuat hubungan dalam ma’lumat.

Hal-hal yang membuat kita tidak ingin belajar dengan guru ada 3:

  1. Ketamakan yang salah
  2. Sombong dan terlalu percaya diri sehingga tidak mengetahui apa kekurangan kita
  3. Ingin cepat dibilang ‘alim, pengen cepet show up (terlihat), pengen cepet mengalahkan teman-temannya
Orang seperti ini tidak akan mendapatkan ilmu dan keberkahan ilmu. Kenapa? Karena dia berjalan di jalan yang salah. Dia hanya mendapatkan ma’lumat, sehingga ketika dia sudah mendapatkan banyak ma’lumat, dia merasa sudah layak berbicara di depan umum, kemudian mengkaitkan satu ma’lumat dengan ma’lumat yang lain, akhirnya terjadi kesalahan, dan pemikirannya nyeleneh (sesat). Dia bisa mendapatkan riwayat dari buku tersebut, akan tetapi dia tidak bisa mendapatkan pemahaman riwayat buku tersebut. Pemahaman riwayat hanya dapat diambil dari seorang guru.


Apa kesalahan-kesalahan penuntut ilmu yang harus dihindari?


  • Sombong
  • Enggan belajar dengan guru
  • Malu (2 orang yang tidak akan mendapatkan ilmu yaitu orang yang sombong dan orang yang malu), malu tidak berani mencari perhatian, malu untuk bertanya, malu untuk salah di hadapan kawan-kawannya.
  • Terburu-buru (ingin cepat sampai tingkat yang paling atas)
  • Salah niat (agar dipanggil ‘alim), ini adalah orang yang pertama kali akan dimasukan ke dalam neraka.

"... وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ...

"... Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: 'Apa yang telah kamu perbuat? ' Dia menjawab, 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur'an demi Engkau.' Allah berfirman: 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur'an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka ...." (HR. Muslim Nomor 3527)
  • Tidak mengamalkan ilmu 
  • Hanya ikut majelis ilmu tetapi tidak murajaah (mengulang) dan tidak tahdhir (persiapan). Orang seperti ini tidak bisa dikatakan penuntut ilmu 


Apa nasihat Ustadz untuk kami para penuntut ilmu?


Carilah ilmu dengan cara yang benar, jangan sombong, jangan malu, dan yang paling penting jangan salah niat. Harus mengamalkan ilmu, dan jangan merasa tidak membutuhkan ilmu.

Barangsiapa yang mengambil ilmu dengan mulazamah dia akan dijauhi dari kesesatan, dan barangsiapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, ilmunya di hadapan ahli ilmu seperti tidak ada (itu hanya ma’lumat).

Karena itu, ketika Al-Imam Ahmad diajak berdebat dengan Ibnu Abu Duaib beliau berkata “naadzirni (berdebatlah dengan saya)”. Imam Ahmad menjawab: “Siapa kamu? Bagaimana saya munadzarah dengan orang yang tidak pernah belajar dengan guru, kamu tidak mempunyai ilmu kecuali hanya ma’lumat”.

Rep: Habib Maulana
Sumber: Majalah Cakrawala Edisi "Prisma Ilmu"

Posting Komentar

0 Komentar