Subscribe Us

header ads

Hidup Ibarat Kapal Yang Berlayar

 

Hidup Ibarat Kapal Yang Berlayar

Kehidupan ini ibarat pembuatan kapal yang selanjutnya berlayar menunju pelabuhan alam bahagia, yang kita sebut akhirat. Berlayar melewati gelombang dan ombak laut yang kadang tak stabil. Ketika mengadahkan pandangan ke langit, dilihatnya sekelompok burung terbang membuat formasi indah mengarungi lautan mendahului kapal di mana kaki berpijak. Langit yang kadang cerah dan mendung, atau bahkan hujan deras kerap penuhi kapal dengan airnya. Hijaunya daratan di seberang laut menyegarkan pandangan mata.


Di tengah pelayaran itu, adakalanya kebocoran menguji penumpang kapal. Kebocoran bisa jadi dari seorang penumpang yang lalai, atau bahkan dari penumpang yang sengaja membuat kapalnya bocor. Persatuan penumpang kapal diibaratkan sebagai ukhuwwah islamiyah. Ketika ada kebocoran kapal karena seseorang, hendaknya penumpang yang lain mengingatkan, mencegah, dan memberbaiki kebocorannya. Meninggalkan kapal dalam kebocoran dan acuh tak acuh pada keadaan itu, maka tak lain karam yang akan menimpa kapal beserta seluruh penumpangnya.


Memberbaiki kapal yang bocor atau sibuk menghiasnya? Jika disibukkan untuk menghiasnya tanpa menambal kebocoran, maka sia-sia apa yang dihias, karena pada akhirnya kapal itu akan tenggelam. Ibarat hidup dalam suatu lingkungan, kebocoran dengan budi yang buruk itu tak lain akan membuat lingkungan tersebut buruk, bahkan meluas keburukannya seperti halnya air yang masuk ke dalam kapal, lama-kelamaan akan menenggelamkan kapal. Untuk mengingatkan, mencegah, dan memperbaikinya lebih utama daripada menghiasnya. Bukankah pencegahan lebih baik dari pada pengobatan?


Ketika kita runcingkan permisalan ke dalam ranah keimanan dan kemaksiatan. Amal-amal saleh yang kita lakukan setiap hari tanpa menutup lubang kemaksiatan, akan menenggelamkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, mencegah dan mengobati diri dari candu nafsu dan syahwat yang berakibat kemaksiatan lebih utama dari pada menghiasinya dengan amalan sunnah. Karena kemaksiatan akan terus tercatat dosa selama masih terus berjalan. Sedangkan amalan kita, diterima atau tidaknya tak ada yang tahu dan menjamin.


Begitulah gambaran di tengah-tengah pelayaran kapal yang diibaratkan dengan kehidupan kita saat ini. Dalam pelayaran tersebut, tak bisa dipungkiri akan adanya waktu singgah ke suatu pulau untuk beristirahat sejenak, melengkapi kembali perbekalan yang dibutuhkan selama perjalanan menuju pelabuhan alam bahagia.


Ketika berada di tempat persinggahan, ada di antara penumpang yang turun memanfaatkan waktu dengan mencukupi kebutuhannya. Sebagian lainnya ada di antara mereka yang terlena dengan keindahan dan kesenangan yang terdapat dalam pulau singgahan itu, mengira bahwa segalanya akan mereka temui di sana. 


Ketika lonceng waktu berakhirnya istirahat berdentang, mereka yang hanya memanfaatkan waktu dengan sewajarnya kembali ke kapal dengan bekal yang cukup. Sedangkan mereka yang berlebihan dan terlena dengan kondisi di pulau itu, tak menyegerakan dan bahkan melupakan perjalanan yang mereka tempuh. Hingga kapal telah jauh berlayar, mereka baru menyadari jika pulau yang mereka singgahi hanyalah pulau kecil di tengah lautan, bukan alam kebahagiaan yang menjadi tujuan utama mereka.


Hingga mereka berseru dan mengeluh akan keadaan yang menimpa mereka saat ini.


Ada yang berseru: “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah," (Q.S. An-Naba (78):40)


“Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku,” (Q.S. Al-Haqqah (69): 28-29)


“Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah," (Q.S. Az-Zumar (39): 56)


Dan ketika malam telah tiba, keluarlah dari hutan (yang ketika pagi dan siang dipandangnya hijau penuh keindahan) binatang-binatang buas, seperti serigala, binatang melata, ular dan sebagainya menakut-nakuti dan mengincar mereka yang dahulunya mengira akan mendapat ketenangan dan kesenangan dalam pandangan yang semu dan fana.


Orang-orang yang telah kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan merupakan mereka yang hanya sekadarnya mengambil apa yang mereka perlukan dalam waktu yang telah ditentukan, Mereka senantiasa mengingat tujuan awal mereka, dan tidak lalai atas kesenangan sementara di pulau singgahan sebelumnya.


إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ (البقرة (2):249)


“Kecuali bagi yang menceduk seceduk tangan," (Q.S. Al-Baqarah (2): 249)


Sumber: Majalah Cakrawala Edisi "Lingkaran Politik" dengan judul asli "Kapal Kehidupan" ditulis oleh Ummu Maghfiroh

Posting Komentar

0 Komentar