Subscribe Us

header ads

Harga Diri Perjuangan


Harga Diri Perjuangan





Cerpen Oleh: Eral Katyushantri Zeih

Adelaide, 1905

Desa kecil di kawasan Adelaide, aku menikmati hilir angin dari barat diiringi pesona tenggelamnya sang mentari. Di tengah kenikmatan, diriku tenggelam dalam riuhnya isi kepala dengan lembaran buku di pangkuan kaki.

“Jei, sudah baca dzikir petang?” tanya ayah sontak membuatku kaget.

“Sudah Ayah, tadi selepas shalat ashar,” jawabku.

“Kerjaan kamu kok melamun saja. Sebegitu sukanya sama senja?” tanya ayah lagi, aku hanya mengangguk. Beberapa menit saling diam, aku yang masih tenggelam dengan keriuhan dan ayah yang diam memperhatikanku, entah apa yang dipikirkan ayah, mungkin tentang masa depanku.

“Ayah!” panggilku, ayah langsung kaget sambil menjawab, “Heh, kenapa?”

“Aku sering banget ditanyain orang-orang tentang namaku. Ayah dapet inovasi darimana si? Kok kayanya di dunia ini yang bernama itu hanya aku,” tanyaku sambil meringis tiba-tiba saja dari sekian banyak riuh di kepala, pertanyaan seperti ini yang terlontar untuk ayah. Tidak ada maksud lain, aku hanya ingin tau apa dan mengapa. Apa arti namaku dan mengapa ayah memberiku nama itu yang secara tidak langsung aku bertanya kepada ayah apa sebenarnya yang ayah harapkan dariku, anak tengahnya dari tiga bersaudara.

Ayah menatapku lama. “Jei Darda. Sembilan belas tahun yang lalu, bertepatan dengan peringatan empat puluh tahun kematian elang putih,” jelas ayah.

“Elang putih?” tanyaku, ayah mengangguk.

“Elang putih, julukan bagi pejuang di sebuah pulau kecil,” lanjut ayah.

Pulau Kamikaze, 1844

Kala itu, Kamikaze kedatangan pasukan Eslaqar, penjajah dari negeri Jepang. Rumor yang beredar di masyarakat, pasukan ini dikenal sangat kuat dan hampir semua seni bela diri dan aliran tenaga dalam dikuasai oleh mereka, dari kungfu, wushu, shaolin dan masih banyak lagi. Khan, seorang intelijen diperintahkan memimpin barisan untuk menghadapi pasukan ini.

“Tugas ini mudah, kamu hanya harus mengusir penjajah, yang sukar itu ketika kamu harus berjuang untuk melawan bangsamu sendiri. Lakukan segala hal guna mempertahankan pulau ini dan tetap stabilkan kedamaian dan ketentraman bagi rakyat,” pesan Chuong, Pemimpin pasukan intelijen pulau itu.

Dengan adanya instruksi ini, Khan memilih Kimo agar menjadi wakilnya. Tanpa runding, Khan menjelaskan taktik yang akan digunakan, yaitu dengan membuat surat perjanjian. Menurut Khan, inilah satu-satunya cara agar kedamaian rakyat tetap terjaga, namun siasat ini ditolak mentah-mentah oleh Kimo.

“Saya berjuang, tidak pernah sekalipun mengharapkan pangkat, kedudukan, ataupun gaji yang tinggi. Jika memang saya tidak bisa hidup mulia, saya lebih memprioritaskan mati dalam keadaan syahid. Bagi saya tusukan pedang di dada, lebih berkilau dibanding tusukan panah di punggung!” ungkap Kimo seraya membanting daun pintu ruangan Khan.

Khan dan Kimo adalah dua sejawat karib. Keakraban mereka bermula ketika Khan menyelamatkannya, saat rumah yang Kimo tinggali menjadi salah satu sasaran bom penjajah. Ketika yang ada hanya puing, Khan dengan gagahnya menggendong Rizky, anak tunggal Kimo. Sedangkan Kimo menangis sesegukan meratapi ceceran darah istrinya. Sejak saat itu ia dan anaknya hidup bersama Khan hingga Kimo dilantik menjadi seorang intelijen. Tidak ada satupun orang yang dipercayai Kimo dengan penuh, kecuali Khan. Namun sekarang ia merasakan kecewa yang mendalam atas keputusan Khan. Waktu berjalan, hari berganti. Khan mendatangi Kimo ke kantornya.

“Apa siasatmu?” tanyanya singkat.

“Selama jantungku masih terus memompa, takkan kubiarkan setetes darah asingpun menguasai pulau ini,” sumpah Kimo.

“Atur jadwal dan siasatmu, kuserahkan barisan ini padamu,” kata Khan.

“Apa katamu?!” bentak Kimo

“Perjuangkan pulau ini, aku memiliki urusan lain,” terang Khan seraya pergi.

Kimo masih mempertanyakan maksud dari perkataan Khan. Tak menemukan celah, Kimo pergi mendatangi Chuong.

“Khan datang padaku, dan menyerahkan barisan kamikaze padaku,” ucap Kimo.

“Laksanakanlah perintahnya, aku mengirimnya untuk menghadapi pasukan lain,” jelas Chuong.

“Yang akan kita hadapi bukan pasukan biasa! Jika pasukan ini menang, mereka akan mengendalikan keamanan pulau ini, merambat ke politik lalu perlahan ekonomi pulau ini akan ambruk, dan akan berakhir pada hilangnya masa depan Kamikaze. Keputusan macam apa ini?” Amarah Kimo tak mampu dibendung.

“Pergilah ke kota utara minggu depan. Pasukan ini telah mengirimkan surat pengepungan. Atur siasatmu sebaik mungkin. Ingat, Kota Utara adalah kota pertahanan utama pulau ini,” jelas Khan.

Kimo keluar dari ruangan tanpa mampu berkata. Tak ada waktu lagi baginya untuk bertanya-tanya mengapa. Dalam waktu seminggu, ia mempersiapkan barisannya, pasukan tempur, pasukan khusus, penembak jitu dan pasukan tank.

Lima hari berlalu, masing-masing pasukan bersiap karena malam ini mereka akan berangkat ke Kota Utara. Sebelum berangkat, Kimo berniat menemui Khan. Merupakan budaya bagi tentara Kamikaze, baiknya sebelum berperang untuk menemui orang yang dipercayai dan menitipkan kalung ketentaraan. Sore itu, Kimo menjenguk anaknya bersama salah satu pasukannya, Nhat. Setelah pulang dari menjenguk sang anak, Kimo mengelilingi barak mencari Khan, namun ia tak bertemu dengan Khan. Kecewa dan sedih menghampirinya, karena sejak Khan menyuruhnya memimpin barisan ini, Kimo tidak pernah lagi bertemu dengan Khan. Malam pun tiba, Kimo dan barisannya pergi ke Kota Utara, tanpa berhasil menemui Khan.

Kota Utara

Pasukan Kamikaze tiba sehari sebelum hari pengepungan, guna menjaga-jaga keadaan rakyat di kota itu. Kimo merasa ragu, namun beribu kali ia mengatasnamakan cinta. Ia terngiang pesan istrinya dahulu, “Cinta memberi kita kenikmatan, mendapatkan apa yang kita cintai adalah nikmat dan terpisah darinya adalah sakit. Cinta adalah pendorong untuk mendapatkan apa yang kita cintai, sedangkan kenikmatannya adalah kesenangan dari hasil mendapatkan apa yang kita cinta.” Ia meneguhkan hatinya, “Ku cintai pulau ini, dan memperjuangkan apa yang kucintai adalah nikmat.”

Ia maju di depan pasukannya berkata, “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya, keberadaan kita di sini ialah wujud dari penghormatan dan kemenangan kita ialah wujud kesyukuran. Berjuanglah sampai nadi ini berhenti berdetak.”

Pasukan Kamikaze berjalan menuju sebuah pabrik tua, mereka langsung bersiap dengan posisi perang. Sebuah tarikan pistol berbunyi, pasukan Kamikaze terkejut sambil mencari asal suara itu. Mereka tersentak, karena pasukan Eslaqar telah siap dengan pasukan perang mereka, dan yang paling membuat pasukan Kamikaze terkejut adalah, pemimpin pasukan Eslaqar adalah Khan.

Perang dimulai, Kimo mengejar Khan ke dalam pabrik tua. Dengan jurus jet kune do, Kimo melayangkan kakinya ke bagian belakang kepala Khan. Khan tersungkur, Kimo pun bertanya, “Mengapa kamu di sini?” belum sempat dijawab, sebuah peluru menembus tepat ke jantung Kimo, setengah sadar ia melihat penembak itu adalah Pimpinan Intelijen Kamikaze, Chuong. Darah bercucuran dari tubuh Kimo, Khan meneteskan airmata, salah satu pasukan Kamikaze, Nhat melihat kejadian itu, buru-buru ia pergi dengan hati yang sudah pecah berpuing-puing.

LNhat kembali ke barak lalu menjemput Quong dan membawanya pergi jauh meninggalkan Pulau Kamikaze itu. Akhirnya Pulau Kamikaze lenyap, hilang, tanpa meninggalkan secercah nama. Kamikaze, pulau yang bergelimang, udara yang segar, laut yang luas dan tanah yang subur ludes termakan pengkhianatan sang penguasa. Yang ada saat ini adalah Pulau Eslaqar. Kenihilan rasa peduli pada pulau inilah yang menjadikannya hilang, tidak ada yang tau sejarah pulau ini, tidak ada yang tau peradaban apa yang pernah terjadi di pulau ini, tidak ada yang tau kemana perginya pribumi pulau ini. Hingga pada akhirnya, kolonial menguasai pulau ini dan pribumi kehilangan kewarganegaraannya.

Adelaide 1905

“Kamu tau kemana perginya Nhat dan Quong?” tanya ayah, aku menggeleng.

“Orang di sampingmu sekarang adalah Quong,” jawab ayah.

“Ih, Ayah apaan sih, ga lucu,” elakku.

“Nhat mengubah namanya menjadi Chao dan Quong mengubah nama menjadi Hira,” terang ayah.

“Kong Chao, Yah?” tanyaku tertegun, ayah hanya mengangguk dan aku masih terperangah.

“Itu sejarah nama kamu, bagaimana? Menarik bukan?” ucap ayah dan aku masih tidak percaya.

“Nama kamu itu ayah ambil dari tiga bahasa, Bahasa Persia, Ibrani dan Indonesia. Lalu ayah satukan. J berarti Jasmine, dari Bahasa Persia artinya hadiah dari Tuhan. E berarti Elsa, dari Bahasa Persia juga artinya sumpah bijaksana. I berarti Indah, dari bahasa Indonesia artinya enak dipandang, dan Darda dari bahasa Ibrani, artinya mutiara kebijaksanaan,” jelas ayah.

Aku makin terperangah, belum bisa menangkap semua maksud ayah. “Jadi?” tanyaku meminta penjelasan.

“Ya, kelahiranmu itu bertepatan dengan syahidnya seorang pejuang yang dikhianati, yang tidak lain adalah kakekmu sendiri. Setidaknya, ketika kamu dewasa nanti. Bijaklah dalam mengambil keputusan. Tidak seharusnya kamu mempercayai seseorang secara keseluruhan. Pengkhianatan kadang juga terjadi atas nama perjuangan. Seperti kata kakekmu ‘Hiduplah dengan mulia atau matilah dengan syahid,” jelas ayah.

Aku tersenyum seraya memeluk ayah. “Jei sayang Ayah, maafin Jei belum bisa bahagiain Ayah, belum bisa menjadi anak yang baik, terus doakan Jei ya Yah,” ucapku dalam isak.

Sumber: Majalah Cakrawala Edisi "Sudut Sejarah".


Posting Komentar

0 Komentar