Subscribe Us

header ads

Neo-Sufisme, Tasawufnya Generasi Milenial

Neo-Sufisme, Tasawufnya Generasi Milenial

Pada dasarnya kita mengenal generasi milenial sebagai generasi yang individual, terkesan cukup mengabaikan masalah politik, kurang peduli dalam membantu sesama, dan fokus pada nilai-nilai materialistis dari segi negatif, memiliki pribadi dengan pikiran yang terbuka, dan rasa percaya diri yang bagus dari segi positif.

Era post modernisme ini ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Ciri peradaban modern adalah rasionalitas dan mentalitas seperti yang sudah disebut di atas dan disebabkan oleh dua unsur ini, maka masyarakat modern menjadi rasional dan materialistik, lalu karena materialistik maka manusia modern kemudian cenderung menjadi individualistik.

Sedangkan tasawuf atau sufisme, menurut Syekh Mohammad Al-Kurdi adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat buruk, dan mengisinya dengan sifat terpuji, dan juga cara melangkah menuju rida Allah dan meninggalkan larangan-Nya.

Tasawuf memang kerap kali dianggap kuno dan kolot oleh generasi sekarang yang bergelimang teknologi modern yang serba instan. Tasawuf adalah pembersih hati dan penjernih akhlak, maka hal-hal kecil yang kita lakukan dengan niat menuju rida Allah dan mengikuti sunah Nabi Muhammad Saw sudah termasuk bagian dari tasawuf.  Orang tua kita telah mengajari kita bertasawuf dari kecil, hanya saja mereka tidak menyebutnya dengan istilah tasawuf. Makan dengan tangan kanan, mengucapkan alhamdulillah saat menerima sesuatu, masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, mengucap basmalah sebelum makan, berdo’a sebelum tidur, dan lain sebagainya. Mereka memang tak menyebutkan bahwa itu adalah Sunah dan tuntunan Nabi Muhammad Saw, tetapi mereka mengajarkan kita untuk langsung menerapkannya dan membuat kita tahu bahwa itu merupakan perbuatan baik.

Semakin kita dewasa kita menjadi tau, bahwa yang mereka ajarkan adalah tuntunan Nabi. Dan itu adalah sufisme. Kenapa? Karena pada dasarnya sufisme/tasawuf tidak pernah terlepas dari nilai-nilai adab dan akhlak yang ada pada Al-Qur’an dan Sunah. Lalu, bagaimana agar generasi milenial yang sudah dipandang miring ini menjadi generasi idaman? Ya, jawabannya adalah dengan bertasawuf.

Neo-sufisme menurut Buya Hamka dalam bukunya “Tasawuf Modern” merupakan sebuah penerapan dari sifat qanaah, siap fakir tapi tetap semangat dalam bekerja mencari rezeki di bumi Allah, ikhlas, dan juga dituntut untuk bekerja dengan giat dengan niat yang benar yaitu karena Allah semata, agar apa-apa yang kita lakukan bernilai ibadah. Buya Hamka juga memberi panduan-panduan dalam bersikap bagi seorang sufi berdasarkan profesi masing-masing, agar tidak keluar dan menjauh dari syari’at islam. Terdapat etika di bidang pemerintahan, bisnis dan ekonomi. Juga etika akademisi yang meliputi guru, murid, dokter, pengacara, dan lain-lain. Jika setiap muslim dengan berbagai macam profesi tersebut mampu menerapkan syari’at islam dan mengaplikasikan nilai-nilai islam, maka ia dapat disebut sebagai seorang sufi abad modern atau seorang neo-sufisme.

Buya Hamka menyajikan tasawuf dengan model simpel, dapat dimengerti tiap insan, tetapi mengena di hati. Beliau ingin menjelaskan bahwa bahagia atau kebahagiaan yang menjadi hak dan tujuan tiap manusia, sebenarnya sudah ada dalam diri kita. Tergantung bagaimana kita memanage dan memahaminya dalam tiap pribadi, sehingga melahirkan pribadi yang dapat memahami tentang makna kebahagian yang sebenar-benarnya dan tidak melenceng dari ajaran-ajaran agama.

Lalu bagaimana kita menerapkan tasawuf dalam kehidupan kita? Apa saja yang bisa kita terapkan? Pada dasarnya, semua perbuatan baik itu menuju kepada tasawuf, seperti menolong sesama, mematuhi peraturan, menaati kedua orang tua, memberi makan fakir miskin, membuang sampah pada tempatnya, bahkan menyingkirkan paku/benda berbahaya di jalanan. Karena semua perbuatan baik merujuk kepada penyucian jiwa. Dalam ayat Al-Qur’an diterangkan:

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya (7) maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaanya (8) sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) (9) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (10).” (Qs. Al-Syams [91]: 7-10)

Setelah penjelasan di atas, tentu kita sudah dapat mengambil kesimpulan bagaimana tasawuf berjalan sejalur dengan Al-Qur’an dan Sunah. Manusia wajib berikhtiar untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sebab Allah Swt tidak akan merubah kondisi hamba-Nya jika hamba tersebut tidak berusaha merubahnya.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan :

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-ra’d [13] :11)

Oleh sebab itu, selagi kita masih memiliki waktu untuk tinggal di bumi Allah ini, alangkah baiknya jika kita terus berusaha mengubah diri menjadi lebih baik dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berikut ada beberapa cara untuk mengubah diri menjadi generasi neo-sufisme yang berguna bagi agama dan bangsa. Beberapa yang dapat penulis jelaskan adalah :

1. Tekad yang kuat


Jika kita ingin mengubah diri, maka langkah pertama adalah memiliki tekad yang kuat. Sebab segala sesuatu bisa terjadi dengan adanya tekad yang kuat untuk melakukan hal tersebut. Jika seseorang tidak memiliki tekad untuk meraih apa yang ia inginkan, maka keinginannya hanya akan menjadi fatamorgana. Yakinlah bahwa kita bisa mengatasi segala rintangan. Jangan menyerah dan percayalah bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya itu sangat luas. Jika kita memiliki niat baik dengan tujuan mencari Rida Azza wa Jalla, maka jalannya juga akan dipermudah.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mincari rida) Kami, Kami akan tunjukkan mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah bersama Orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut [29] :69)

2. Luruskan niat


Tak sekedar tekad, kita juga harus memiliki niat yang baik dengan tujuan Lillahi Ta’ala. Ketika kita ingin berubah, maka perubahan yang diinginkan sebaiknya memiliki niatan yang baik, karena Allah dan hanya untuk Allah. Sebab segala hal yang diawali dengan niat yang baik, maka hasilnya akan baik dan juga sebaliknya. Jika kita melakukan sesuatu karena manusia, jangan heran jika kebahagiaan yang kita dapatkan hanya berlangsung sementara. Saat kita dikecewakan oleh manusia maka diri kita akan merasa hancur, sedih, dan kecewa. Ingat, Allah adalah sebaik-baiknya tempat bersandar dan mengadu kita.

Dalam hadist dijelaskan : “Ingatlah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa (segumpal daging) itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

 3.Jangan bermalas-malasan


Malas hadir karena hati kita lebih tertarik kepada hal-hal yang melenakan atau mengasyikkan, karena belum adanya komitmen dan kesungguhan hati untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan karena faktor pergaulan. Malas juga membuang-buang waktu kita yang berharga. Jadi untuk mengatasi malas kita harus paham konsep waktu, memiliki mental dan sifat bersegera dalam kebaikan, dan berdo’a kepada Allah agar menjauhkan kita dari godaan malas tersebut. (selengkapnya, buka Cakrawala volume VIII)

 4.Perbanyak social experience


“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang berbuat kerusakan. ” (Qs. Al-Qashash [28]: 77)

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa kita harus memanfaatkan bagian kita di dunia untuk dapat mencapai akhirat. Ini berarti, dunia tidak serta merta ditinggalkan begitu saja. Justru kita dapat meraih pahala akhirat itu dengan memafaatkan dunia dengan sebaik-baiknya, termasuk dengan memperbanyak sosial experience. Kenapa? Karena dengan begitu kita bisa tau masyarakat, bagaimana sikap mereka terhadap masalah A dan lain sebagainya, dengan begitu juga kita lebih mudah bersikap dan menentukan dakwah bagaimana yang dapat kita sampaikan kepada mereka, dan bagaimana kita bersikap dalam masyarakat. Bukankah hakikat manusia adalah makhluk sosial?

Dari beberapa contoh di atas, masih banyak lagi cara-cara agar kita bisa menjadi lebih baik menuju rida-Nya dan meraih akhirat-Nya. Seperti  : Jangan melupakan ibadah, carilah motivasi, berusaha lebih ekstra, istiqomah, optimis, keluar dari zona nyaman, berkumpul dengan orang baik, terus memperbaiki diri, jangan mudah menyerah, perbanyak bersyukur, dan janga lupa temukan bakat anda.

Sumber: Majalah Cakrawala Edisi 9 "Segitiga Cinta" ditulis oleh Fernanda Fakhrudina

Posting Komentar

0 Komentar