Subscribe Us

header ads

Biografi Imam Syafi'i, Sang Pencetus Dua Aliran: Abu Abdillah Al-Quraisy

Biografi Imam Syafi'i, Sang Pencetus Dua Aliran:  Abu Abdillah Al-Quraisy

Oleh: Berliana Putri Permatasari

“Jika engkau merasa khawatir amalanmu terkotori dengan rasa ujub, ingatlah keridhaan siapa yang engkau inginkan dan adzab siapa yang engkau lari darinya. Maka barangsiapa yang memikirkan hal tersebut, akan terasa rendah amalan yang ia kerjakan.”

Adalah kutipan pesan dari sekian banyak pesan yang telah beliau suratkan. Abu Abdillah al-Quraisy atau akrab dipanggil Imam Syafi’i merupakan imam ketiga dari empat imam madzhabi menurut urutan kelahirannya.

Beliau lahir pada tahun 150 H/767 M di Ghaza, Palestina. Berasal dari rumpun Arab asli yang silsilahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad Saw pada Abdu Manaf.

Sebagaimana nasabnya, Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Shafi’ bin al-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf. Sedang nasab nabi adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdu Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Nama Syafi’i sendiri dinisbahkan kepada nama salah seorang kakeknya yang merupakan sahabat junior generasi akhir, yakni Shafi’ bin al-Sai’b.

Imam Syafi’i menjadi yatim sejak bayi, karena ayahnya wafat tidak lama setelah ia dilahirkan. Ia diasuh oleh ibunya dalam keadaan serba kekurangan. Pada usia dua tahun, ia dibawa ibunya kembali ke Mekkah, kota asal keluarga Bani Muthalib. Tampaknya langkah ini diambil oleh ibunya demi kepentingan Syafi’i sendiri. Sebab, untuk menjaga nasab ia harus dekat dengan induk keluarganya di Mekkah. Selain itu, ia akan lebih mudah mendapatkan pendidikan karena di sana terdapat banyak ulama dalam berbagai bidang seperti hadis, fiqih, syair dan sastra.

Sejak dini, pada diri Syafi’i telah tampak bakat yang luar biasa untuk menjadi seorang ulama. Kecerdasan dan kekuatan ingatannya yang ditopang oleh kemauan keras dan ketekunan, membuatnya selalu berhasil dalam setiap pelajaran dan melampaui semua teman sebayanya. Sebagaimana tertulis dalam buku Shafahatu min Sabri al-Ulama karangan Abdul Fatah Abu Ghadah, bahwasanya Imam Syafi’i bercerita, “Aku berada bersama para pencatat kitab, di sana aku mendengar ustadz sedang mengajari ayat Al-Qur`an pada anak-anak kecil, maka aku langsung dapat menghafalnya. Sebelum ustadz tadi selesai mendikte ayat pada mereka aku telah menghafal semua yang didektekan tadi.”

Ia memulai langkah pendidikannya dengan belajar membaca dan menghafal Al-Qur`an, hal ini diselesaikannya ketika ia masih berumur 7 tahun di kuttab, lembaga pendidikan terendah yang ada pada masa itu. Setelah selesai mempelajari Al-Qur`an, Imam Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Untuk itu, ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan bani Hudhail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya pada waktu itu. Dari suku inilah, Syafi’i kecil mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya.
Tak hanya mahir dalam bidang ilmu, ia juga sangat menggemari olahraga memanah.

Keterampilannya dalam memanah sangat mengagumkan, ia dapat mengenai sasaran sepuluh kali dari sepuluh bidikan. Kemudian pada gilirannya, setelah menguasai Al-Qur`an dan syair Arab dengan sempurna, ia melengkapi pendidikannya dengan pelajaran fikih. Ia bergabung ke majelis al-Zanji, Muslim bin Khalid, seorang mufti ternama di Mekkah.

Tidak hanya berpijak pada satu majelis, layaknya orang yang haus akan ilmu, ia datang ke Madinah dan belajar kepada Malik bin Anas.
Seorang ulama fuqaha termasyhur pada saat itu. Syafi’i melanjutkan pelajarannya bersama Imam Malik di usianya yang kedua puluh tahun hingga sang guru meninggal dunia pada tahun 179 H/796 M.

Setelah menempuh berbagai macam halarintang, ia pun akhirnya kembali ke kota peraduan, Mekkah. Beliau mengajar di Masjid Al-Haram selama 9 tahun. Darinya lahir beberapa tokoh pembesar ulama pada masanya seperti, Imam Ghazali, Ibnu Muhammad al-Naisaburi dan beberapa murid lain. Berbekal modal pengetahuannya yang luas dan mendalam terhadap fikih dari berbagai sumber (Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak), ia memulai penyusunan kaidah-kaidah sebagai dasar bagi madzhab baru yang akan dibangunnya di antara kedua aliran, Ahlu al-Ra’yi dan Ahlu al-Hadist atau disebut turuq istinbat Al-Ahkam.

Madzhab Syafi’i adalah hasil penggabungan dari dua aliran tersebut. Suatu madzhab fikih baru yang nanti diperkenalkan di Baghdad dan akhirnya mendapatkan wujudnya yang sempurna setelah dikembangkan di Mesir.

Sebagai ulama yang terkenal akan kehausannya dalam menuntut ilmu, ia tidak akan lepas dari sebuah karya yang dihasilkan oleh sang pena. Menurut Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab Ahkam al-Qur`an, karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Di antaranya:


  1. Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh, dibuat atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Baghdad.
  2. Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih (gabungan dari beberapa buku fikih Ahlu al-Ra’yi wa al-Hadist).
  3. Kitab al-Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Umm dan dilengkapi dengan sanad-sanadnya.

Imam Syafi’i berpesan, “Ilmu itu adalah yang bermanfaat, bukanlah ilmu jika hanya sekedar dihafal.” Beliau juga mengatakan, “Belum pernah aku merasakan kenyang semenjak sepuluh tahun yang lalu kecuali sekali, itupun aku muntahkan dengan cara memasukkan jari ke dalam tenggorokan. Karena rasa kenyang membuat badan menjadi malas dan membuat hati keras serta menghilangkan kecerdasan, membawa rasa kantuk dan membuat malas beribadah.”

Menukil dari kisah Imam Syafi’i, adakah secuil ilmu yang bisa kita banggakan? Berawal dari ketidakberadaan menjadi berada. Tak kenal mundur dan terus maju, tak kenal lelah dan terus melangkah. Modal percaya bahwa Sang Pencipta takkan mengkhianati usaha ciptaannya. Lalu nikmat mana yang harus kita dustakan? Hidup dalam kecukupan tapi tidak berkemauan, penuh dengan kemudahan tapi selalu menyerah kepada permasalahan. Mari sejenak berbenah diri menjadi pribadi Tholibul Ilmi yang hakiki.

Posting Komentar

0 Komentar