Subscribe Us

header ads

Sang Aneh


Oleh: Ihya’


    Apakah anda yakin untuk terus membaca kisah ini? Kisah ini bukan tentang tokoh-tokoh yang hebat dengan lakonnya. Bukan tentang pahlawan yang berjasa atau sebagainya. Yang akan anda baca hanya seremeh cerita dua orang yang ‘aneh’. Tidak lebih. Jangan berekspektasi terlalu tinggi pada cerita ini. Namun, jika anda bersikukuh untuk meniti aliran alur, di akhir, anda akan mendapati rahasia yang menakjubkan.



***

    Segerombol anak SD mengayuh sepeda berderetan. Sedetik seusai bel berdentang di sekolah, mereka langsung ‘tancap gas’ menaiki sepeda lalu pulang beramai-ramai. Jalan raya hingga persawahan dilalui. Panasnya area persawahan memaksa kulit-kulit mereka untuk berkeringat. Tapi semangat masa muda menjadikan setiap kayuhan tetap bertenaga. Saling salip-menyalip di sirkuit yang garis akhirnya adalah rumah masing-masing. Mimik wajah setiap dari mereka berbeda-beda, ada yang serius dan ambisius, ada yang terus cengengesan, ada juga yang datar. Berbeda-beda. Yang sama dari mereka adalah dekil di wajah, daki di leher, juga seragam putih kekuning-kuningan di tubuh. Bau kecut yang khas juga terus menempel.

    Roda terus menggelinding. Eko, Dwi, Tri, Catur, dan Ahsan perlahan mulai kehilangan kekuatan. Warna-warni sepeda kelima anak itu meninggalkan hijaunya area persawahan di belakang mereka. Panas hawa persawahan yang terbuka ikut tertinggal juga. Masuk ke area perkebunan. Rindangnya pepohonan meneduhi. Tapi tenaga sudah terkuras. Napas, mulai terengah-engah. Satu dari mereka memutuskan berhenti untuk rehat. Sebab satu orang berhenti, empat lain ikut berhenti.

    “Capek banget,” ucap Eko di depan. Napasnya tersengal. 

   “Panas-panas gini enaknya minum es.” Teman di sampingnya, Dwi, menoleh ke kanan dan kiri. Hanya ada perkebunan luas. “Tapi sepi banget ya, gak ada yang jualan.”

   Tri, di tengah ikut melihat-lihat. Keringat mengalir dari keningnya. “Jus mangga enak banget harusnya.”

    “Dibilang sepi, gak ada yang jualan apa-apa.” Dwi tidak terima. 

  “Apa lanjut aja yuk?” Eko kembali bersuara, mengajak teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan. Napasnya masih tersengal.

    Di belakang, satu anak lain juga ikut memindai keadaan sekitar. “Siapa mau yang seger-seger?” Catur menarik perhatian teman-teman lainnya. Teman di sampingnya, Ahsan, melirik ke arahnya. Dari tadi dia hanya diam saja.

“Seger-seger gimana maksudnya, Tur?” Tri penasaran.

“Ada yang seger, tapi bukan es.” Catur semakin membuat penasaran teman-temannya.

“Maksud kamu apa sih?” Eko kebingungan.

“Iya, apa sih?” Dwi ikut mendesak.

Telunjuk kecil Catur mengangkat. Teman-temannya mengikuti arah telunjuknya. Dengan senyuman nakal dia menunjuk sebuah pohon di dalam kebun. Teman-temannya memicingkan mata, menerka-nerka apa yang dimaksud oleh Catur. Beberapa detik memfokuskan pandangan, akhirnya mereka mengerti. Penglihatan mereka terbang beberapa meter ke depan. Di sana ada pohon mangga yang rimbun dan berbuah banyak. Ke sanalah telunjuk Catur terarah. Buah-buahnya yang hijau kekuningan terkena angin seolah melambai menggoda siapapun yang melihat. Apalagi pohon itu tidak tinggi, bisa dipanjat. Makin menggoda. 

    “Boleh juga idemu, Tur.” Tri mengangguk-angguk, secara tersirat dia paham dan setuju ide Catur, walau Catur sendiri belum menjelaskan.

    “Maksudmu, kita…?” Dwi berpura-pura tidak paham.

    “Ah, masa begitu aja gak paham!” Tri memotong.

    “Berarti kita bakal…?” Eko memastikan, matanya melirik ke Catur.

   “Iya, ayok, Cuma satu apa dua buah aja gak apa lah.” Mata Catur bergerak-gerak memberikan ‘kode rahasia’ ke teman-temannya.

    Eko, Dwi, Tri, & Catur saling tatap. Tergiur, meneteslah air liur. Sepertinya enak sekali memakan mangga di siang panas seperti saat ini. Bukan air, bukan es, tapi sama-sama segar. Tidak perlu memanjat tinggi juga.

    “Gimana? Langsung?” Catur mendorong teman-temannya. Semuanya saling lirik lagi. Kode-kode  mata disiratkan lagi. Kali ini arti dari kodenya adalah: Gas!

    Semuanya mengayuh sepedanya keluar dari jalan masuk ke kebun. Semuanya kegirangan dan kepanasan. Semuanya bergegas ingin memanjat pohon mangga itu kecuali satu orang, Ahsan. Dia menetap di jalan. Pandangannya tertunduk galau. Ia terlihat memperhitungkan banyak hal.

    Saking girangnya, empat anak yang sudah merangsek ke kebun, tidak sadar satu temannya tidak ikut. Masa bodoh. Ketika sampai di bawah pohon, sepeda-sepeda langsung dibanting ke tanah tanpa takut sepedanya rusak. Masa bodoh. Mereka langsung naik melucuti buah-buah ranum dari pohonnya. Entah buah, pohon, dan kebun ini punya siapa. Masa bodoh. Tidak terasa satu buah sudah dilahap habis, tambah lagi, petik lagi. Masa bodoh.

Seragam putih yang sudah kekuning-kuningan kini dihiasi bercak-bercak kuning sari mangga. Mulut mereka sampai cemong. Menikmati sekali. Fokus mereka teralihkan pada suara sepeda yang datang. Semua yang di atas pohon kompak melihat ke bawah. Lihat siapa yang tidak ikut berpesta pora. Wajah mereka tiba-tiba menjadi tidak bersahabat.

“Eh, aku mau pulang dulu ya,” seru Ahsan. Akhirnya dia bersuara.

Catur dari atas sinis menatap matanya. “Gak mau ikut ke atas, enak loh?!” 

“Ah, gak seru ah, masa pulang duluan.” Dwi berteriak dari dahan lain, menyindir.

“Wah, bilang aja takut, iya kan?” Tri tidak ketinggalan ikut berkomentar.

“Gak, aku cuma mau pulang. Em… aku gak suka mangga.” Ahsan berkelit. Ekspresi wajahnya jelas sekali, dia sedang menyembunyikan sesuatu.

“Tenang aja, San, aman kok,” bujuk Eko.

“Gak, ah, aku duluan ya.” Ahsan memalingkan wajahnya, bersiap menggenjot pedal.

“Hei, jangan pergi dulu dong!” Catur meneriaki Ahsan. “Gak setia kawan banget. Masa gak mau senang-senang bareng, enak lho makan mangga, egois banget mau pulang duluan!” Tiga anak lain di atas pohon ikut memelototi Ahsan yang tidak mau bergabung.

“Gak, aku mau duluan. Maaf ya, semuanya.” Teguh sudah pendirian Ahsan. Raut wajahnya mengandung takut. Dia mengayuh sepedanya menjauh dari perilaku ‘munkar’. Teman-temannya dari belakang meledakkan sumpah serapah. Kecewa. Tidak suka dengan sikap Ahsan.

Ahsan sudah melaju beberapa meter. Kembali ke jalan. Dia terus tegar ke depan sampai salah satu suara dari teman mereka berteriak dari belakang, “DASAR ANEH!”

    Hati Ahsan seakan tersayat. Sakit sekali. Dadanya sesak. Apakah pilihan ini benar? Setelah pergulatan hati yang dihadapinya, kalimat itu membuatnya goyah. Dia tidak paham norma etika masyarakat, dia tidak paham hukum pidana, dia tidak hafal dalil-dalil dari kitab suci. Bahkan istilah-istilah itu saja masih terlalu dini untuk dia kenali. Yang dia tahu hanya perkataan orang tuanya. Mengambil barang yang bukan milik kita namanya mencuri. Dan mencuri itu tidak boleh. Dia tidak ingin berceramah dan menggurui temannya layaknya orang bijak. Dia hanya bisa menolak dengan nurani, dan menjauh, meninggalkan.

    Ahsan bukan hakim yang mampu menentukan dengan bijak mana yang baik dan yang tidak. Dia bukan sarjana hukum yang hafal dalil-dalil hukum tentang pencurian. Dia bukan cendekiawan yang mampu berpikir secara dalam. Dia hanya anak SD. Sekecil apapun, sebuah mangga sekalipun, sebutir permen sekalipun, mencuri tetaplah mencuri. Siapapun yang melakukannya adalah pencuri. Ahsan tidak ingin jadi pencuri, dia menolak, tidak peduli apa maksud dari balik larangan itu. Dalam hematnya, mangga-mangga itu bukan miliknya. Pohon itu tumbuh di kebun, dan kebun pasti ada yang memiliki. Kalau dia memetik satu buah saja dari pohon itu, berarti dia mencuri. Kalau dia mencuri berarti melakukan hal yang tidak boleh. Sesederhana itu. Sesederhana itu. Sesederhana itu.

    Lihatlah akibat dari pikiran yang ‘sesederhana itu’. Wajah gembira dari teman-temannya sirna. Ahsan tidak yakin besok apakah mereka masih bisa pulang sekolah bersepeda bersama lagi atau tidak. Dia tidak yakin lusa apakah Catur, Tri, Dwi, dan Eko mau menegur dia di sekolah. Pertemanan mereka pasti tidak baik-baik saja. Ahsan dirundung galau. Apakah pilihan ini benar? Apakah seharusnya aku ikut teman-teman saja? Hanya satu buah saja mungkin tidak masalah bukan? Bisikan-bisikan ini menyusup mengacak-acak hatinya. Dia mengayuh sepeda terus, terus, dan terus. Tak terasa air mata berderai di pipinya. Apakah layak ‘kebenaran’ digadaikan hanya demi singkatnya kesenangan?

***

Lain tempat, lain kisah. 

    Wajah tegang terpasang. Hanya butuh lima detik untuk menjadikan kelas yang ramai menjadi hening. Seruni dan teman sekelasnya duduk tegak dengan raut serius setelah mendengar pintu kelas mereka berderit. Pak Umar, wali kelas mereka, masuk dengan membawa map tebal berisikan sesuatu yang sangat penting. Sangat penting bagi anak-anak kelas 12-C yang membisu ini. Pak Umar yang berbusana batik biru dan celana hitam duduk di depan. Menata-nata sejenak meja guru. Seruni dengan baju putih abu-abu yang juga khas, memfokuskan pandangan. Penglihatannya terbang jauh ke meja guru, berusaha menerawang isi map yang dibawa wali kelasnya. Dia menerka-nerka bagaimana hasil usaha panjangnya selama ini. Jantungnya berdegup kencang. Arnia, teman sebangkunya, wajahnya tidak kalah tegang. Beberapa temannya terlihat pucat. Ada juga yang santai. Sebagian lainnya berbisik-bisik satu sama lain, tidak tahu apa yang dibisikkan.. 

Pak Umar berdehem, memberi kode. “Seperti yang sudah kalian ketahui, setelah lama menunggu, sekarang kita ada di penghujung masa belajar kita di SMA ini. Sudah waktunya bapak untuk mengumumkan kelulusan kalian. Langsung saja, yang disebutkan namanya setelah ini dipersilakan untuk maju satu persatu.” Langsung saja, tanpa bertele-tele dalam motivasi atau apalah itu. Langsung saja, sesuai dengan isi hati anak-anak kelas 12-C.

“Abdillah Sadewa.” Prosesi pemanggilan dimulai, tanpa basa-basi. Langsung  saja.

“Aca Selaksa Asa.” Seperti biasa, sesuai abjad. Seruni berdamai dengan huruf ‘s’ di namanya.

“Arnia Kiswantina.” Teman di sampingnya maju. Mereka saling toleh sesaat. Seruni terseyum simpul, mengangguk, memberi kode ‘semangat’.

“Bima Manggala Mahardika.” Masuk ke huruf B.

Seruni menggoyangkan jemarinya. Kakinya ia ayunkan maju dan mundur. Dia tahu betul bahwa nilainya pasti baik-baik saja. Dalam riwayatnya, dia tidak pernah mendapatkan nilai buruk. Usaha terbaik juga sudah ia kerahkan. Tapi kenapa tegang ini masih ada. Jemarinya memijat-mijat telapak tangan, berusaha menenangkan diri sambil mendengarkan beberapa nama-nama disebutkan.

“Haekal Afriadi.” Pak Umar sudah memanggil setengah anggota kelas. Setengah lagi sisanya.

“Heru Sujatmiko.”

Seruni masih menunggu. Arnia sudah kembali ke tempat duduk. Perlahan dia membuka amplop putih dari Pak Umar. Seruni melirik ke arah temannya. Arnia melirik balik, bertanya dengan matanya: Buka sekarang nih? Seruni menjawab juga dengan kode mata: Iya! Seruni bergeser sedikit ke arah Arnia demi penasaran. Kertas putih di dalam sudah menunggu untuk ditarik. Mereka berdua tenggelam dalam fokus. Waktu seolah menggelinding pelan. Pelan tapi pasti, Arnia menarik kertas itu. Pelan sekali, ini seru, Arnia tegang tapi dia senyam-senyum sendiri. Pelan, dan ketika kertas keterangan lulus itu sudah menanggalkan amplop putih, suara itu terdengar.

“Seruni Laksma Anjani.” Kaget. Seruni reflek berdiri dari tempat duduknya dan maju ke depan. Arnia ditinggalkan begitu saja.

    Rambut hitamnya tergerai, mengikuti gerak tubuh. Dia menelan ludah, bisa-bisanya dia dipanggil ketika sedang seru bersama Arnia. Jantungnya berdegup lebih kencang. Waktu tidak lagi terasa lambat, ia berhenti. Langkah kakinya, ayunan tangannya, detak jantungnya, semuanya terasa lebih dalam. Di depan Pak Guru berbatik biru itu sudah menunggu. Tiba juga saatnya, ketika amplop putih miliknya ia terima. Persis di depan wali kelasnya, sesaat rasanya dia membeku, sebelum kemudian berjalan kembali dengan kaku. 

    Kembali ke tempat duduk. Ia menarik napas panjang dan dalam. Arnia di samping menunjukkan tulisan ‘lulus’ di suratnya. Wajah tegangnya menjelma sukacita. Seruni semakin tegang. Dia membuka amplop keramat itu. Kini giliran Seruni melirik ke Arnia, matanya bertanya: Buka sekarang nih? Jawaban yang sama dengan cara yang sama: Iya!  

Ia menarik napas panjang dan dalam, lagi. Tidak seperti temannya, dia langsung menarik cepat kertas kelulusannya. Tidak ingin lama berdebar. Matanya terbelalak dengan tulisan di kertas itu. Seruni lulus. Setelah tiga tahun dia menuntut ilmu di sekolah ini, akhirnya kini dia selesai. Sekaligus menuntaskan masa studi wajib sembilan tahun. Matanya berbinar-binar. Di kanan dan kirinya, laki-laki ataupun perempuan, teman-teman kelasnya berseru riang. Seruni tidak peduli. Dia ada di dunianya sendiri.

Setelah beberapa patah kata, Pak Umar langsung saja pergi meninggalkan anak-anak didiknya. Tanpa banyak drama. Mereka kini sudah bebas. Sehilangnya punggung Pak Umar dari balik pintu, murid-murid langsung bersorak-sorak gembira. Ada yang naik ke atas meja menari-nari. Ada yang menggedor-gedor meja. Keadaan terbalik 180 derajat. Tapi Seruni tidak ikut-ikutan, dia ada di dunianya sendiri. Beberapa menit kemudian keadaan semakin ricuh.

“Gimana, Bim, langsung sekarang nih?” Heru berteriak kepada Bima, bertanya. 

“Iya, ayok,” jawab Bima. “Ayok semuanya, kita cabut!” Telunjuk Bima mengacung ke luar. 

    Semuanya ikut komando dari Bima. Beramai-ramai tergiring ke arah luar sekolah. Laki-laki, perempuan, semuanya. Mereka Semuanya, kecuali Seruni, dia punya dunianya sendiri. Ia tidak mengerti apa yang akan dilakukan teman-temannya. Tidak tahu-menahu ke mana mereka pergi. Dia termangu memperhatikan langkah teman-temannya yang beranjak dari kelas. Hingga Arnia beranjak dari tempat duduk, ikut berjalan ke arah luar.

    “Arnia, mau ke mana sih, ada acara apa?” Seruni benar-benar tidak tahu.

    “Kamu masa gak tahu sih? Ayok ikut aja.” Tidak memberi informasi. Tidak mengobati ketidatahuan Seruni. Arnia malah menarik tangan Seruni, mengajaknya keluar.

    Di halaman, anak-anak kelas 12 lainnya ikut berkerumun. Tapi alur langkah mereka tidak berhenti di halaman. Mereka menuju ke parkiran motor di samping jalan raya. Pikiran Seruni mendentingkan sinyal. Ini tidak beres. Arnia masih mencengkram tangannya, menuntunnya ke tempat yang dimaksud semua lulusan SMA baru itu. Sesampainya di parkiran, gaduh semakin menjadi. Teriakan-teriakan, nyanyian-nyanyian memenuhi udara.

    “Piloknya siap kan, Ru?” Bima berteriak, bertanya ke Heru.

    “Aman, Bim!” 

    “Kita mau ke rute mana nih?!” Itu suara Yordi, anak kelas 12-D.

    “Nanti ikut aku sama Heru aja!” 

    Satu persatu motor ditunggangi. Beraneka macam jenisnya. Dari yang kecil hingga besar. Mesin-mesin motor menyala. Asap knalpot dimuntahkan. Suara geberan motor membentak-bentak. Sinyal ‘tidak beres’ seruni sudah semakin keras berdenting. Ia melepaskan genggaman tangan Arnia. Arnia sontak menoleh tidak mengerti dengan temannya.

    “Kenapa?”

    “Kita mau ngapain, Arnia?” 

    Arnia mengernyitkan dahu. “Pawai lah, apa lagi?” 

    “Hah! Pawai?!” Raut antusias atas kelulusan sirna di wajah Seruni.

    “Iya, masa kamu gak tahu. Di mana-mana kalau lulus SMA yang begini.”

    “Pawai? Kamu mau ikut?” 

    “Iyalah, kok masih nanya.”

    “Kamu kan gak bawa motor.”

    “Aku nanti bonceng Dewa, kamu nanti bonceng juga aja.”

    Seruni mengepalkan tangan. Bingung. Dia langsung bangun dari kepolosannya. Dia mengerti apa yang akan terjadi. Pawai motor, gebar-geber di jalan raya, corat-coret dan lain sebagainya. Dia tidak ingin ikut-ikutan kegiatan unfaedah nan tidak benar ini. Seruni selalu ada di dunianya sendiri. 

    “Aku gak ikut, Arnia.”

  “Kenapa gak ikut? Kita mau seru-seruan lho.” Arnia mengangkat suaranya. Menarik perhatian anak-anak lain di sekitarnya.

    “Ikut aja, Seruni, perayaan.” Aca ikut menghasut.

    “Iya, wajib tau, gak sah lulus SMA kalau gak pawai.” Arnia semakin memaksa.

    “Gak, aku mau pulang aja, udah ditunggu orang tua.” Seruni berkelit. Jelas sekali, ekspresi mukanya menyembunyikan sesuatu dari hatinya.

    “Gak asik banget kamu, Seruni!” Arnia naik pitam. Semua pertemanan di kelas seakan tidak pernah terjadi sama sekali. Entah kenapa.

    “Masa mau pulang duluan, egois banget kamu!” Aca ikut menyulut api. Mengajak anak-anak lain untuk melirik Seruni sinis. Geberan dan klakson motor yang berteriak membentak-bentak mengiringi pedasnya ucapannya.

    “Awas kamu pulang!” Arnia mengancam, dia memegang tangan Seruni.

    “Maaf ya, aku gak ikut.” Seruni melepaskan belenggu Arnia. Seruni memiliki dunianya sendiri.

    Seruni berlari-lari kecil ke jalan raya. Meninggalkan parkiran dengan armada siap tempur yang sudah siap dengan pedati mereka. Meninggalkan teman-temannya yang gandrung ingar-bingar perayaan penuh kesesatan. Meninggalkan ketidakbaikkan di belakangnya. Rambut panjangnya tergerai, terayun mengikuti langkahnya. Tapi urusan tidak semudah itu. Semua mata anak-anak kelas 12 kini menyorot kepada langkah kaki anak yang ‘egois’ ini. Arnia meneriakinya, memprovokasi yang lain untuk ikut menyorakinya. Huu! Huu! Huu! Langkah kaki anak yang ‘gak seru’ ini diarak oleh jeritan-jeritan intimidasi.

Seruni berusaha tegar, dia menunduk dan diam. Hatinya bergemelutuk, kalau tidak ia tahan, niscaya semua amarah dan sedih sudah meledak dari tadi. Kalau tidak ia tahan, ia bisa saja memekikkan ceramah-ceramah kepada mereka. Tapi dia tetap membisu. Paham betul bahwa itu sia-sia untuk hati yang sudah gandrung. 

Tepat di gerbang parkiran, satu sampah kertas mendarat di kepalanya. Ia menoleh ke belakang, barang-barang lain menyusul. Kertas, pena, pensil, penghapus, sampah plastik. Miris.  ‘Armada tempur’ itu melemparinya. Merajam seorang ‘pengkhianat’ sambil menyorakinya, huuu!

Pendirian seruni mulai goyah. Ia bertanya-bertanya, siapa yang salah? Apakah pilihan ini benar? Apakah seharusnya aku ikut teman-teman saja? Hanya satu kali saja, bukan? Bisikan-bisikan ini menyusup mengacak-acak hatinya. Di pinggiran jalan dia menyetop angkot oren. Satu langkah sebelum naik, suara Arnia berdesing dari belakang menembus dadanya. “DASAR ANEH!!!”

Pertemanan di kelas seakan-akan tidak pernah ada. Masuk dan duduk. Dari luar terdengar suara-suara itu masih bergaung galak, menghina, mengejek, dan mencemoohnya. Dia menunduk. Tak terasa air mata berderai di pipinya.  Aku salah apa? Sebenarnya siapa yang benar dan siapa yang salah?

***

Benar, bukan? Apa yang baru saja anda baca bukanlah cerita epos seorang pahlawan agung. Hanya cerita dua orang yang aneh. Aneh karena tidak sesuai dengan pandangan temannya. Berapa banyak orang di sekitar kita yang kita cap aneh hanya karena dia tidak berperilaku sama dengan kita? Dicap ‘aneh’ hanya karena berperilaku di luar kebiasaan orang lain, padahal itu bukan perilaku yang salah. Memang seberapa yakin kita bahwa kebiasaan yang ada pada diri kita atau yang beredar di sekitar kita adalah benar? Seberapa yakin?

Malang sekali nasib Ahsan dan Seruni. Bagi teman-temannya, mereka adalah ‘aneh’ – jahat sekali diksi itu. Dianggap aneh dan langsung dicerca. Tapi kalau kita pikir lebih dalam, sejatinya mereka tidak aneh. Mereka hanya memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda, lain dari temannya. Pikiran dan perasaan yang asing bagi teman-temannya. Jika dia berpikiran dan berperasaaan di ‘luar kebiasaan’ temannya. Berarti dia bukan aneh, tapi sejatinya dia ‘luar biasa’.

Cerita Ahsan dan Seruni hanyalah contoh. Yakinlah, di luar sana anda dapat menemukan jutaan lagi yang seperti itu. Dalam warna yang berbeda, dalam bentuk yang berbeda, dalam corak wujud yang berbeda. Tapi masih dalam pola yang sama.

Biarlah, dari dulu memang kebenaran sudah lazim untuk dianggap aneh, asing. Namun, kendati kebatilan sudah akrab pada kehidupan masyarakat, bukankah nilai itu selamanya tetap batil. Kebatilan adalah kebatilan. Bahkan, kendati satu dunia menganggap aneh suatu nilai kebenaran, ia tidak akan bergeser sedikitpun, nilai itu akan tetap menjadi kebenaran. Kebenaran adalah kebenaran. Jadi, siapa yang sebenarnya aneh?

‘Kebenaran’ datang dalam keterasingan, dianggap aneh. Lalu, ia akan kembali dan terus menerus dianggap asing dan aneh. Maka janganlah berkecil hati. Beruntunglah orang-orang yang asing. Beruntunglah orang-orang yang aneh. Tidak, Maksudnya, beruntunglah orang-orang yang luar biasa.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. فطوبى للغرباء

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin waktu kecil hanya bisa menjadi nahi munkar, tetapi saat sudah besar dan mengetahui lebih banyak hendaknya bisa menjadi amar ma'ruf juga ya, Ahsan, Seruni. Proud of you.

      Hapus