Subscribe Us

header ads

News Coo, Kasihan Desa Sukamiskin: Cerpen Kritikan


Oleh: Ibnu

“Jangan silau dengan kebenaran.” Mbahku selalu ngomong gitu tiap kali aku menemuinya. Entah dia bicara apapun ataupun dalam keadaan apapun, pasti kalimat ini selalu nyelip dalam setiap perbincangan agak membosankan kami.

“Nggih, Mbah. Udah berkali-kali Mbah ngomong gitu sama aku. Lama-lama aku bosen, Mbah. Lagian aku juga nggak ngerti maksudnya Mbah ngomong apa?” ucapku sebelum meninggalkan mbah yang sedari tadi membaca koran harian yang aku bawa. “Yowes Mbah, aku pulang dulu,” ucapku sambil bergegas menginggalkannya sebelum ada kalimat-kalimat aneh lagi yang keluar dari bibir keriputnya.

“Koak, koak, koak.” Suara berisik teman pengantar koran yang mengganggu perjalanan santaiku di pagi hari ini menandakan sebuah berita besar akan segera muncul. Benar anggapanku, teman-teman burung sedang berkeliling menyebarkan berita hangat pagi hari ini. Kertas-kertas berita berterbangan sambil berjatuhan, warga Hutan Sukamiskin pun bergegas keluar sarang dan kandangnya masing-masing sambil berebut dan memungut selebaran yang berserakan di tanah.

“Wah, seru nih! Bakal dapet berita menarik besok siang nih.” Aku pun sangat bahagia melihat berita hangat dari para pengantar koran, tak sabar rasanya hati ini menantikan hari esok segera datang untuk meliput berita spesial pada acara nanti. Tak terasa perjalanan kali ini pun seakan tanpa letih, melangkah setapak demi setapak kulewati terasa seperti tanpa beban. Aku beranjak dari keramaian.

Keesokan hari

Matahari kini tepat berada di atas kepalaku, aku pun menutupi rambutku yang berwarna putih dengan topi merah marun agar tak terasa kepanasan di kepala, takutnya nanti bulu-buluku bertambah usang gara-gara belum mandi pagi hari tadi.

Saking antusiasnya warga Hutan Sukamiskin ini, mereka sudah dari zuhur tadi menunggu acara ini. Tapi setelah ku tanya ke salah satu pendatang, ternyata keramaian tadi bukanlah hadirin dan tamu undangan, melainkan hanya panitia. “Waduh, jam karet lagi nih!” ucapku dalam hati dengan kesal menunggu kedatangan warga. Sambil menunggu kedatangan mereka, aku pun melanjutkan kebiasaanku membaca buku, karena memang aku ikut program “One Day One Book” dalam sekolah menulisku di hutan sebelah.

Detik demi detik telewati, tapi batang hidung warga Sukamiskin belum kelihatan. Lama sekali penantian ini tak berujung, padahal rumah mereka dekat dengan tempat perkumpulan. “Eh, panitia kok jam segini acaranya belum dimulai sih,” ucapku sambil menyodorkan jam tangan kayu yang menunjukan pukul 14.02. Hatiku pun mulai jengkel dengan kebiasaan-kebiasaan warga hutan ini yang suka ngaret.

“Huft!” gumam asaku yang tersisa seperempat lagi dan hampir saja putus. Kulanjutkan saja bacaanku pada sebuah novel berjudul Jar of Heart yang bercerita tentang sebuah kesetiaan dalam penantian.

Beberapa menit berlalu, massa pun kini berdatangan, bak asap knalpot ‘mobil mogok’ milik manusia yang munculnya terakhiran. Asapnya pun semakin mengebul memenuhi meeting square bukan meeting hall seperti tempat berkumpul manusia. Sebuah pertanda bahwa “Dialog Hutan Mantap Jaya” akan segera dimulai.

“Tok, tok, tok! Acara Dialog Hutan Mantap Jaya akan dimulai,” ujar Neo si burung beo sebagai Master of Ceremony dalam acara dialog kali ini. Dia adalah teman rivalku. Memang sih, umurnya terlampau lebih muda dariku, tapi dia memiliki potensi yang luar biasa dalam bidang penerangan.

Inilah saat-saat yang paling ditunggu-tunggu dari kemarin, dialog yang banyak menghadirkan tokoh-tokoh elit dalam Hutan Sukamiskin ini. Turut hadir yang terhormat Gereng si singa yang kebetulan waktu Pilja (Pemiilihan Raja) kemarin, dia mendapatkan suara terbanyak mengalahkan lawan politiknya Burut si gajah yang juga turut hadir sebagai oposisi untuk mengkritisi uang belanja organisasi kerja si gereng yang akan dibahas pada dialog ini. Hadir pula Bapak Putut si elang sebagai penasehat dalam organisasi ini.

“Baiklah warga Sukamiskin, dialog saya mulai. Tok, tok, tok!” Bunyi suara palu yang diketuk oleh Kang Mime si kijang sebagai presidium dialog ke batang pohon tumbang yang dijadikan sebagai meja kehormatan. Mataku pun tak berkedip, entah berapa lama karena saking antusiasnya sebagai jurnalis untuk meliput berita besar ini.

Acara demi acara pun terlewati, memang sudah menjadi hukum alam terjadi sebuah eliminasi. Para warga yang tak tau arti pentingnya dialog untuk memajukan hutan selama beberapa tahun ke depan, perlahan meninggalkan square hall dengan mencuri-curi waktu istirahat yang ada. Beralasan mencari angin sebentar, ternyata kebablasan. “Huft, ya sudahlah,” ujarku dalam hati.

“Kang Mime, saya menganggarkan teropong ini sebagai alat pemantau keamanan hutan ini. Tolong setujulah dengan argumen Saya!” suara lantang Raye si kera mengagetkanku dan menjadikan fokusku kembali normal.

“Kebutuhan ini terlalu mahal dengan pemasukan yang ada,” jawab Kang Mime berusaha untuk mengambil keputusan yang bijak. “Tapi kan ini penting sekali, nanti malah ada serangan dari manusia dan kita nggak bisa apa-apa karena kurangnya fasilitas yang memadai,” jawab nyelot Raye kepada Kang Mime.

“Memang semua yang kalian paparkan itu sangatlah penting untuk kemajuan hutan ini, tapi permasalahannya dengan keadaan ekonomi hutan yang belum stabil, kita bukan hanya mempertimbangkan butuh apa tidak. Lebih tepatnya prioritas apa tidak. Toh tanpa alat ngintip seperti itu, kita masih memiliki aset penting ras burung sebagai pemantau yang siap membantu kawanan kera. Kalian juga bisa naik ke puncak pohon sambil menengok dengan mata telanjang,” tanggap bijak Kang Mime untuk statement Raye yang kurang tepat.

“Ada aspirasi lain?” kata Kang Mime ingin menyelesaikan permasalahan belanja sekomplotan ras kelas tinggi. “Kang Mime, mohon maap ini mah. Saya pengen ngadain acara tarian nusacalingan dari setiap domisili Hutan Sukamiskin. Anggarannya lumayan besar sih, seperti yang tertera di daftar,” ucap Cuing si kambing sambil memohon persetujuan presidium dialog.

“Boleh tuh, ide yang bagus! Kita bakal memperkenalkan kebudayaan kita kepada masyarakat luar Hutan Sukamiskin. Tapi masalahnya dana yang dibutuhkan terlalu besar. Soalnya kebutuhan kita bukan hanya proyek eksternal, tetapi pembangunan internal juga penting. Khususnya pembangunan karakter warga sini dengan kegiatan-kegiatan yang ada. Mungkin bisa dipress anggarannya supaya hal prioritas dapat terlaksana,” tanggap Kang Mime berusaha menengahi.

“Semuanya baik, semuanya benar dengan argumennya masing-masing. Tapi dalam kepentingan bersama kita jangan bersikap egois mempertahankan kebenaran atau kebaikan menurut versi masing-masing,” kata Kang Mime berusaha sebijak mungkin menentukan uang belanja hutan sekaligus menjadi kalimat penutup untuk acara ini.

Dalam momen berharga ini, aku mendapatkan banyak hal. Bukan hanya perutku kenyang, tapi otakku pun ikut kenyang dengan materi diskusi tadi. Bahkan, aku pun dapat berita acara yang menarik, sehingga aku mungkin mendapatkan angpau lebih dari Bos Petut si burung perkutut. Senang sekali hari ini!

Posting Komentar

0 Komentar